Jumat, Juni 19, 2009

tugas sastra: novi rovika

ANGIN MUSPARA
Karya: Novi Rovika Kls XI-bhs

Riuh rendah angin muspara
Se-ia dengan realita
Bertarung dengan bisingnya kehidupan
Angina muspara …

Jangan sampai terbuai olehnya!
Sekalipun karena takdir
Dengan apa kau kan melawannya?
Dengan kesabaran.

Sabar. Seperti rumput gajah yang selalu sabar,
Menari-nari kemanapun angin membelai
Semua arah mata angin …
laiknya pola irama tarian

bukan tak ingin menjadi batu karang
hanya kadang, ciut nyali
tinggalkan saja keraguan dan ketidakpercayaan itu
pilih, jadi batu atau sampah

Cerpen

AKU NGERTI
Karya: Novi Rovika

Hidup adalah permasalahan, memang begitulah hidup. Itulah yang sedang menderaku. Sedih, bingung, bahkan tak tahu apa ini. Otakku dipenuhi pikiran-pikiran yang membuat hari ini serasa gak akan pernah hidup lagi.
Tak biasanya aku merasa ada yang beda saat aku hendak pulang ke rumah. Sesampainya di depan jalan yang menghubungkan sekolah dan rumahku, langkahku terasa lebih cepat. Entah apa yang membuatku ingin segera sampai di rumah.
“ srek..srek..srek..”
Suara itu terdengar dari kamar kak Ebie, kakakku. Aku heran melihat dia memasuk-masukan pakaian ke dalam ranselnya.
“ cepat ganti baju, semuanya ikut pergi mengantar ibu! ”
Ucap kakak sembari memandangku sendu. Aku heran sebenarnya ada apa dengan ibu, tapi rasa penasaranku…
“ memangnya sakit ibu parah lagi? Terus dibawa ke dokter mana? “
Tapi kakak tak menghiraukan pertanyaanku. Entahlah aku jadi makin penasaran.
Setelah kami siap, segera kakak meluncurkan motornya. Kami berbelok arah, aku tahu ke mana kami akan pergi.
Masih tersimpan dalam ingatanku, waktu aku kecil dulu kalau ibu punya uang pasti dia mengajakku ke tempat yang ku lewati barusan sengaja untuk membeli bakso kesukaanku. Hm.. sangat menyenangkan sekali jadi anak kecil, kalau saja aku bisa meminta aku akan meminta pada Allah agar aku jadi anak kecil terus. Tapi itu permintaan yang konyol. Tiba-tiba saja aku terdorong ke depan,
“ kakak ngerem gak bilang-bilang! ”
Sungut ku sambil membetulkan posisi duduk. tapi seperti tadi, kakak hanya meresponku acuh.
Tak terasa adzan maghrib berkumandang, kalau saja kakak tahu aku sedang berpuasa karena hutangku ramadhan kemarin kakak pasti mengajakku mampir sebentar di warung untuk sekedar membatalkan puasaku. Tapi nihil, biar saja aku tahan.
“ kita langsung ke rumah sakitnya saja ya! “
Ucap kakak dengan suara parau. Aku heran, memangnya kakak kapan nangisnya. Jadi tambah bingung, memangnya kenapa ibu harus di bawa ke rumah sakit segala.
Urusan perut emang gak bisa diajak kompromi, usahaku untuk menahan bunyi demo di dalam abdomenku membikin aku tak peduli dengan pertanyaanku tadi.
Akhirnya sampai juga. Aku perhatikan kakakku saat membuka helmnya, sekedar untuk memastikan apa matanya sembab setelah tadi aku mendengar suaranya yang parau. Ternyata tidak, hanya sedikit kusut mungkin karena pakai helm yang terlalu kekecilan.akh, aku ngaco.
Kami langsung menuju kamar yang disebutkan kakak, aku jadi gak sabar ingin segera ketemu ibu. Di sepanjang koridor jalan banyak keluarga pasien yang lalu lalang, ataupun hanya sekedar duduk-duduk. Aku pikir akan sepi, pasalnya ini kan sudah waktunya shalat maghrib.
Tak lama. Saat aku mendongkakkan kepalaku ke sebuah pintu ruangan yang nomornya tidak sempat ku lihat. Tubuhku serasa mau rubuh, seketika itu juga air mataku meleleh. Rasa takut itu mulai datang, tiba-tiba ada sedikit penyesalan. Dalam hati aku bergumam..
“ kenapa aku tadi tidak cepat pulang! “,
Air mataku terus meleleh. Hampir saja aku terjatuh tapi aku harus kuat, aku tidak boleh terlihat cengeng di depan kakakku apalagi di depan ibu. Sesosok wanita yang selalu mengomeliku karena susah makan dan mengingatkanku untuk tidak lupa shalat. Kini hanya terkulai lemah di atas kasur dengan selang infuse di pergelangan tangannya.
Kakak pergi ke luar untuk shalat sembarimembeli makanan. Aku shalat di kamar tempat ibu di rawat. Tak henti-hentinya aku menangis dalam do’aku,
“ aku tak ingin ibu begini, kenapa tidak aku saja ya Allah. Aku sanggup menggantikan posisi ibujika Kau menghendaki. Aku serasa tak berguna di saat seperti ini, yang aku bisa hanya cengeng. Kalaupun Engaku menghendakinya untuk bersama-Mu sekarang, aku belum siap. Aku tak akan kuat menerimanya, aku belum siap berstatus yatim. Aku tak mau itu terjadi “.
“ Apa aku anak yang selalu ibu banggakan itu, yang tak bisa berbuat apa-apa disaat ia lemah melawan penyakit yang selama ini dideritanya. Ya.. Allah, sembuhkanlah ibu. Agar aku bias mendengar omelannya lagi, agar aku bisa melihat senyumnya lagi. Amin ya… rabbal ‘alamin…”.
Ya ampun! Ternyata dari tadi kakak melihatku, aku benar-benar kaget. Biarlah, ini kan wajar. Tapi tetap saja aku malu. Ia menyodorkan bungkusan nasi yang di belinya barusan, sembari aku makan kakak menasehatiku.
“ kakak juga tidak tahu kenapa ibu bisa drop lagi, padahal kemarin ibu terlihat seperti ada kemajuan. Kakak kira sudah mendingan. Eh… ternyata malah jadi begini. Makanya mulai sekarang kamu harus terus jagai ibu “.
“ Ibu tuh tadi sebelum dibawa ke sini bukannya mikirin penyakitnya tapi dia malah nanyain kamu. Ibu bilang kalau kamu pulang suruh jangan lupa shalat terus kalau sudah adzan maghrib langsung makan …”.
Aku nangis sesenggukan, tumpah lagi air mataku. Entah, ibu mana yang bisa menggantikan posisinya jika memang sekarang saatnya. Tidakada!. Aku hanya ingin ibu, satu ibu yang kini tengah terkulai lemah.
“ ayah dan kakak-kakak yang lain sudah pulang duluan tadi, assyah bilang kamu dulu yang jaga ibu duluan besok ayah menggantikan “.
“ …..kamu ngerti kan, betapa sayangnya ibu sama kita semua. Sama kamu. Betapa ia membutuhkan kamu disaat seperti ini. Kamu harus jagain ibu, berdo’a terus buat ibu. Ibu pasti sembuh “.
“ aku ngerti! “.

1 komentar:

Bagaimana komentar Anda?