Kamis, April 30, 2009

Kapan Badai Kan Berlalu…?

Karya:Nur Diana W. Satia
Kelas XI Bahasa

Hidup ini sebuah fenomena
Tak sedikitpun kita bisa untuk mengelak

Pohon ini tumbuh dengan sempurna
Dedaunan yang lebat melengkapi hidupnya
Bunga-bunga indah menghiasi kesempurnaannya
Bunga-bunga itu mulai berubah menjadi buah segar
Sebagai pelengkap kesempurnaan dalam hidupnya
Kehidupan indahlah yang melekat ditakdirnya.

Namun, tak selamanya kehidupan indah
Mengiringi kesempurnaan itu.

Musim mulai berganti
Badai mulai menghampiri
Pohon ini mulai gelisah meresah
Kemana dedaunan yang lebat itu
Mengapa bunga-bunga itu tak lagi bersemi
Tak bisakah tumbuh lagi buah yang segar itu
Mana kesempurnaan yang dulu melengkapi hidup ini
Kapankah badai ini kan berlalu
Kembalilah seperti dulu.

Benci

Karya: Nur Diana W. Satia
Kelas XI Bahasa

Gemerlap embun di pucuk pagi hari
Bukanlah kabut yang menyelimuti hati

Takkan pernahlah sari di ujung pati
Selama hati masih terkunci

Ketika benci membakar diri,
Sendiri sepi yang tiada arti
Tak kau lihat daun melambai indah
Tak kau rasa bunga semerbak mewangi

Benci bukanlah penghias diri
Walau benci pelampias hati
Tapi benci tetaplah perusak hati

MIMPI BURUK

Karya : Siti Rohmah Maryani (XI-BHS)

Sebelah Hati Yang hilang

Oleh : Nur Diana W. Satia

“Kekuarga adalah harta yang begitu berharga. Dan orang tua bagaikan sebuah hati yang menjadi pengokoh kehidupan. Tentunya bagiku juga. Tapi, bagaimanakah jika sebelah hati yang kita miliki hilang ? Apakah kehidupanku masih tetap kokoh? Dan apakah hidupku masih begitu kuat walau hanya dengan sebelah hati yang kumiliki? Kini biarlah waktu yang menjawab semua pertanyaanku ini…”

Aku terdiam membisu di dalam sebuah ruangan yang tak ada satu orangpun di sana. Hanya ada benda-benda mati yang menjadi saksi bisu dari guncangan hati yang kurasakan. Suara tangisan duka terdengar samar dari luar sana. Dentingan waktu yang mengiringi sebuah lamunan dari pikiranku. Pikiranku menerawang pada suatu kejadian dini hari tadi, pukul 01.30.

“Mah…mah..mamah…bangun…” aku mengisak tangis ketika melihat sesosok orang yang sangat berarti dalam hidupku tertidur begitu lelap dengan senyuman indah dan tenang yang melekat di wajahnya. Aku mencoba untuk membangunkannya berkali-kali, namun ia sama sekali tidak membangunkan mata dari tidurnya. Aku mencoba untuk meredakan tangisku dengan berfikir positif bahwa ia hanya benar-benar terlelap dalam tidurnya saja. Aku pegang tangannya, lemas, dingin, mengapa?

Aku bertanya pada kakak perempuanku yang sejak tadi hanya berdiri mematung dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Kak, kenapa mamah engga bangun-bangun ka?”. Diam, tak ada jawaban atas pertanyaanku. Ketika kulihat dia hanya tersedu menagis seperti sebelumnya.

Perasaanku mulai tak karuan dan begitu kacau. Ketika terlintas di benakku bahwa Mama sudah meninggalkanku, meninggalkan kami, meninggalkan dunia ini. Dan ketika itulah aku merasa kaku di sekujur tubuhku. Aku melihat sesosok Ibuku yang terbaring tak bernyawa dengan hati yang hampa. Betapa malang nasibku, baru saja tadi malam aku bergurau sama Mama dan tidur sama Mama, sekarang…dengan begitu tenangnya Mama meninggalkan aku!Batinku berkata.

Aku berlari menuju kamar Appa dan membangunkannya. “Pa…appa, bangun appa….bangun…” aku membangunkan appa sambil menangis tersedu-sedu.

“Ada apa, kenapa sih…?”Appa terbangun dan melihatku menangis.”Kamu kenapa nangis?”

Dengan nada berat dan terbata-bata, aku menjawab.”Appa, mama pa…mama…”

“Mama, kenapa mama?”

“Mama, mama engga bangun-bangun pa…”

“Ngga bangun gimana?”

“Ayo, Appanya ikut…liat mama pa,liat…”

Aku dan Appa segera melihat Mama di ruang depan. Ketika Appa melihat Mama yang terlihat begitu pucat, Appa mencoba untuk tidak panik sepertiku. Dengan tenang Appa memeriksa denyut nadi Mama. Tapi, tiba-tiba Appa meneteskan sedikit air mata dan mencoba untuk membangun-bangunkan Mama. Appa melihat ke arah aku dan Kakak, lalu Appa berkata bahwa Mama sudah meninggal. Meninggalkan kami semua. Begitu terasa hancur hatiku mendengar perkataan Appa. Begitupun kakakku, merasakan hal yang sama denganku. Dan kami menangis diiringi rasa sakit yang menusuk di hati. Kakak merangkul tubuhku dan mencoba mengajakku untuk tegar. Walaupun terus ku berusaha setegar mungkin, tapi tetap saja aku begitu rapuh. Menerima kenyataan di usiaku yang ke lima belas, aku harus kehilangan Ibuku. Lalu,bagaimana aku menjalani kehidupanku selanjutnya tanpa Mama?Batinku berkata. Aku, Appa, dan Kakakku, kami bertiga mengharu biru dalam hati.

“Ya Allah, mengapa Engkau begitu cepat menjemput Ibuku disaat aku benar-benar merasakan kasih sayangnya yang begitu mengalir untukku?”Aku bergumam dalam lamunanku. Dan aku baru tersadar dari lamunanku ketika Kakak memanggilku.

“De, kamu ngapain di sini sendiri. Ayu, kamu ikut ke mesjid. Kita kan mau menyolatkan dulu mama…”Kakak mengajakku ke mesjid. Sedangkan aku, aku hanya menatap Kakak dengan tatapan kosong. Tetapi dalam batinku, ”Ya Allah inikah yang harus aku lihat sekarang? Yang biasanya aku selalu melihat mama ketika sedang shalat, sekarang aku harus melihatnya dishalatkan.”

“De…Ade…ko malah bengong, ayo kita ke mesjid…De,Ade…!!”

“Ah,oh, iya ka, sebentar ade mau ke kamar mandi dulu ambil wudlu.”

“Ya udah cepetan, kakak tunggu di depan ya, soalnya yang laen udah pada ga ada.”

“Iya.”

Aku tertegun sebentar melihat Kakakku bisa setegar itu. Tapi mengapa aku tetap saja merasa rapuh. Hmm…benar-benar rapuh.

###

Pukul 11.15, kami berangkat menuju Malangbong untuk memakamkan Mama di pemakaman keluargaku. Selama di perjalanan, aku hanya diam, diam, dan diam saja. Hanya satu kata saja yang sempat aku ucapkan. MAMA. Ketika aku melihat ambulance yang berjalan di depan mobil yang kunaiki, secara spontan aku bilang Mama sambil menitikkan air mataku kembali. Aku bertanya,”Kenapa ku teteskan kembali air mataku ini? Mama, biarkanlah aku mengantarmu pergi dengan senyuman ketegaran. Tapi, kenapa setiap aku ingin seperti itu, justru air matakulah yang menitik.”

Sesampainya di tempat pemakaman, Kakak Mamaku terus merangkul aku berjalan menuju makam. Sungguh lemas jalan yang aku tapakkan. Aku benar-benar tak kuasa mehahan air yang mengalir dari mataku ini. Sedih…pedih…

Mama dimasukan ke dalam liang lahat yang mengapit tubuhnya yang dulu selalu memelukku hangat. Sedikit demi sedikit, tanah merah itu menutupi raganya. Astagfirullah…inikah kenyataan yang harus aku hadapi? Melihat mama tertimpa tanah merah yang sama sekali tak pernah kukira sebelumnya. Aku mulai merasa pusing karena menangis terus, tubuhku terasa lunglai melemas dan aku tak kuat berdiri berada di sana. Aku hampir terjatuh, namun Kakak laki-lakiku dan Appa segera merangkul tubuhku dan membawaku sedikit ke belakang.

Kini hanya tanah merah yang ditancapi padung yang bisa kulihat, tak ada lagi Mama yang tersenyum manis padaku. Aku menaburkan bunga di atas tanah makam Mama sambil menahan air mataku agar tidak menetes di tanah makam Mama. Karena di masa hidupnya, Mama pernah bilang kalau Mama meninggal jangan biarkan air mataku menetesi makamnya, karena itu akan memberatkan kepergiannya.

Pukul 17.30 kami sampai pulang dari Malangbong. Aku berjalan menuju gerbang rumah dengan lemas. Ketika sampai di pelataran rumah, aku menatap daun pintu rumahku. Nanti, ketika aku pulang sekolah takkan ada lagi Mama yang tersenyum menyambutku. Gumamku dalam hati. Hatiku begitu terasa ketir ketika melangkahkan kakiku di ruang depan. Teringatku ketika tadi malam aku masih bersenda gurau di sini. Foto-foto Mama masih terpajang manis di dinding. Dan mengalirlah lagi kesedihan dalam hatiku. Mulai sekarang hingga nanti, rumah ini akan terasa begitu sepi tanpa kehadiran Mama di sisiku. ”De, mulai sekarang kita sama-sama bersabar dan tawakal menjalani kehidupan ini ya… Yu, sekarang kita masuk, kita siap-siap buat acara tahlilan…”dengan sikap kedewasaannya, Kakak mencoba untuk menenangkanku.

Setelah tiga hari tidak masuk sekolah karena masih berkabung, pertama masuk lagi sekolah aku langsung mendapatkan ucapan-ucapan berduka dari teman-teman yang belum melayad. Langkahku menuju koridor, aku langsung bertemu dengan seseorang di ujung koridor. Dia tersenyum padaku, dan aku membalasnya dengan sedikit senyuman yang berat. Yang aku dapatkan dari tatapan matanya adalah ucapan turut berduka yang dia ucapkan dalam hatinya. Walaupun aku tidak mendengarnya langsung, tapi aku yankin itu. Karena kutahu mata bisa berbicara apa yang ada dalam hati. Dia adalah seseorang yang sangat special dalam hatiku. Meskipun aku tidak begitu dekat dan kenal dengannya, tapi hanya dialah yang selalu ada dalam hatiku. Bahkan sampai sekarang ketika aku menulis cerita ini.

###

Dua bulan sudah berlalu dari hari meninggalnya Mama. Selama dua bulan itu aku mealalui masa-masa Ujian Akhir Nasional dengan hati yang berusaha pulih dari kesedihan. Awalnya aku ragu untuk menjalani UAN dengan kondisi pikiranku yang sedang kacau. Tapi, syukur Alhamdulillah aku bisa melaluinya dan berhasil lulus dengan hasil yang memuaskan.

Ketika menerima surat kelulusan dari wali kelasku, aku merasa sangat sedih sekali. Karena di hari yang bahagia ini Mama tidak ada di sampingku, memelukku dan mengucapkan selamat padaku. Tapi aku segera menepis jauh perasaan sedihku itu. Kasihan Mama di alam sana kalau melihatku terus bersedih. “Mah, semoga mama tersenyum dan ikut merasakan perasaan senang yang ade rasakan sekarang ya mah…”aku bergumam sendiri dengan mata yang menerawang.

Beberapa hari setelah pengumuman kelulusan, aku merayakannya bersama keempat sahabatku, yaitu Tya, Sya, Tari dan Giz. Kami jalan-jalan ke tempat-tempat yang biasa kami kunjungi. Mereka berusaha untuk terus menghiburku yang sejak tadi terus berdiam diri dan melamun. Tya yang pertama menghiburku. ”Ne, udah dong…jangan sedih mulu. Sekarang kitakan lagi bahagia gitu…mendingan sekarang kita seneng-seneng dulu. Simpan dulu aja kepenatan yang pernah ada, ya Ne.. Ntar kalo Nenek sedih mulu, mamanya juga sedih lho..” Sedikit demi sedikit akupun mulai tersenyum. Mereka memang paling bisa membuat aku tertawa. Dan mereka juga pinter banget untuk ngasih aku nama panggilan kesayangan mereka. “Nenek”panggilan itulah yang mereka berikan untukku. Alasannya, katanya sih aku tuh so tau, omongannya kaya nenek-nenek, dan terlalu banyak pepatah-pepatahnya. Ah,,,padahal menurutku sih, merkalah yang aneh. Hihi..

Setelah hari pengumuman kelulusan itu, selama beberapa minggu, aku menunggu hasil keputusan dari pendaftaran aku ke SMA. Dan akhirnya pada tanggal 11 Juni 2007, keluarlah keputusan tersebut bahwa aku telah diterima di SMA yang sekarang menjadi tempat aku sekolah.

Hari pertama aku masuk sekolah di SMA, aku mendapatkan teman-teman baru dan tentunya seragam baru juga. Pertama aku melangkahkan kaki di gerbang sekolah baruku, aku bergumam dalam hati seperti biasanya.”Ma, sekarang mama harus tersenyum ya melihat ade yang tersenyum juga. Sekarang ade sangat senang ma, akhirnya ade sekolah di SMA yang ade mau. Yah…walaupun Appa katanya sedikit menyesal ade ngga masuk SMA yang Appa inginkan..” Aku tersenyum-senyum sendiri sambil berjalan dan menerawangkan pandangan ke seluruh pelosok sekolah baruku. Lalu, aku tertunduk dan melihat-lihat seragam putih abuku yang masih baru. Hihi…lucu rasanya ngeliat aku pake baju ini! Batinku berkata. Dan ketika aku mengembalikan arah pandanganku lagi ke depan, tiba-tiba aku tertuju pada seseorang yang tentunya sangat aku kenali posturnya. ”Dia!!!Why…kenapa dia juga sekolah di sini? Ternyata jadi juga dia sekolah di sini. Aduh…Gimana nih aku nervous banget kalo mesti jalan ngelewatin dia sendirian..” Aku terkejut melihat dia yang juga satu sekolah lagi denganku. Dan aku sangat deg-degan ketika dia ada di tempat yang akan aku lewati menuju kelasku, soalnya dia menempati kelas yang letaknya sebelum kelasku. Dan itu….itu artinya…aku harus melewati kelasnya setiap hari! Waduh…OMG (Oh My God), kenapa harus seperti ini. Aku terus berfikir bagaimana caranya agar aku dapat melewati kejadian itu. Akhirnya aku hanya berjalan sambil menunduk saja untuk menghilangkan rasa nervous.

###

Tepat tanggal 28 Maret tahun 2009 ini adalah dua tahunnya Mama meninggal. Dan berhubung aku sedang mengikuti UTS, aku dan keluarga tidak pergi ziarah ke Malangbong. Selama dua tahun sepeninggalnya Mama, aku menjalani hidup yang benar-benar beda. Aku hanya sendiri di rumah, tidak ada teman buat ngobrol. Memang sih, sebenarnya di rumah aku bertiga bersama Appa dan pamanku, karena keempat kakakku berada di luar kota. Tapi, tetap saja mereka kan laki-laki, susah untuk diajak ngobrol yang sedikit privasi.

Pada awalnya, aku merasa mulai bisa meski hidup tanpa Mama, karena masih ada Appa yang memberikan perhatian yang cukup untukku. Appa masih bisa memanjakan aku, selalu ada di saat aku butuh, dan bisa mengisi rasa kehilanganku atas kepergian Mama. Dan aku mengurus Appa dan rumahpun, sama sekali tidak terasa berat lagi karena sikap Appa juga yang sayang padaku. Tapi, semakin lama Appa mulai berkurang perhatiannya padaku. Appa mungkin sudah mulai merasa sepi hidup sendirian menjadi duda selama dua tahun ini. Akupun sedih juga kalu melihat Appa sedang termenung sendiri di ruang depan sambil menatap foto Mama. Hatiku benar-benar terasa sakit.

Ketika suatu waktu dalam diskusi keluarga. Kami kelima anak Appa, berbicara sudah mulai merestui apabila Appa mau menikah lagi.

“Pa, kami juga tidak apa-apa kalu Appa mau menikah lagi. Karena mau bagaimanapun Appa masih butuh pendamping. Appa juga kan sudah 63 tahun, diusia segitukan Appa tidak bisa terus sendiri, apalagi nanti Neng sama Ade juga kan akan berumah tangga.” Kak David, kakak pertamaku mewakili pembicaraan kami berempat.

“Yah, memang Appa ini akan semakin tua, tapi sekarang kan Appa masih kuat… Appa akan menikah lagi kalau kalian semua merestui Appa. Dan Appa cuma mencari istri yang janda juga sudah tidak ada tanggungan lagi, yang anak-anaknya sudah besar. Biar Appa hidup menjalani masa tua bersama.”

“Kalau memang Appa berniat seperti itu, tentu saja kami merestui. Asalkan istri Appa nati sayang sama Appa dan tidak membuat Appa susah. Dan tentunya yang bisa menjaga keutuhan keluarga kita”

“Tentunya Appa juga ingin seperti itu, karena bagi Appa kalian adalah berlian indah milik Appa. Dan Appa tidak mau berlian Appa hancur hanya gara-gara kehadiaran orang yang salah.”

Aku sangat bahagia mendengar perkataan Appa. Maka, aku sudah tidak khawatir lagi, jadi aku bisa merestui Appa dan ikhlas kalau memang Appa mau menikah lagi. Beberapakali kami mencoba mengajukan beberapa calon istri yang baik untuk Appa, tapi Appa belum bisa menerimanya. Sampai akhirnya Appa berkenalan dengan seseorang janda guru mengaji di sebuah pesantren sekaligus anak pemilik pesantren tersebut. Kami berlima sudah sempat bertemu dengannya. Dan kesan pertama dari pertemuan itu adalah, hasilnya kami kurang begitu setuju kalau ia menjadi istri Appa. Dia benar-benar beda sama Mama, tidak begitu keibuan, dan tidak begitu lemah lembut. Apalagi kenyataannya sekarang sudah berlainan dengan perkataan Appa sebelumnya yang mencari calon istri yang tidak punya tanggungan. Sedangkan ibu itu masih punya dua anak yang jangka kebutuhannya masih panjang.

Aku kecewa akan hal itu. Kami berusaha untuk menyampaikan pendapat kami, tapi ternyata Appa hanya bisa menerimanya sesaat. Tak lama kemudian Appa mulai melupakan perkataannya dan perlahan, perhatian Appa terus tertuju pada Ibu itu. Sedangkan aku, aku hanya bisa terus bersabar dan mencoba untuk mengalah. Karena percuma aku bicara, Appa tidak akan bisa mendengar pendapatku yang masih sedikit pengalaman hidupnya. Lagian aku tidak punya banyak hak untuk terlalu menuntut dan menentang, karena benar kata Appa, yang akan menjalani kehidupannya kan Appa, bukan kami anak-anaknya. Terkadang aku memang benar-benar tidak kuat dengan keadaan ini. Semua keadaan ini semakin membuatku merasa hanya hidup sendiri di rumah. Aku hanya bisa menahan sedih di hati dan menangis di kamarku merindukan Mama.

Aku tak bisa banyak berbuat, yang bisa kulakukan hanya berdoa semoga Appa tidak salah memilih dan Appa akan selalu bahagia dalam hidupnya. Walaupun memang aku menginginkan seseorang yang benar-benar bisa menjadi ibu untukku juga. Karena jujur, akupun masih membutuhkan seorang ibu yang bisa membimbingku seperti Mama dulu, agar aku tak lagi hidup hanya dengan sebelah hati yang hampir merapuhkan aku…

***

Senin, April 27, 2009

ORKES KERONCONG BINTANG GARUT

“Berikutnya akan kita nikmati bersama Keroncong Hanya Engkau, yang dibawakan oleh Ibu Enung. Lagu ini khusus dibingkiskan untuk Bapak Aceng H.M. Fikri dan Bapak Diky Chandranegara, Bupati dan Wakil Bupati Garut, yang telah memberikan banyak dukungan moril juga materiil kepada seniman seniwati keroncong di Garut khususnya kepada Orkes Keroncong Bintang Garut”.

Demikian yang disampaikan Rossi Sudrajat, pembawa acara Irama Keroncong RRI Bandung pada Minggu malam 19 April 2009. Dan keroncong Hanya Engkau, sangat apik dilantunkan oleh Enung, salah seorang vokalis OK Bintang Garut pada malam itu.

OK Bintang Garut, memang malam tadi menjadi “bintangnya keroncong” siaran live Irama Keroncong di studio RRI Bandung jalan Diponegoro 62. Enam penyanyi dari 12 orang penyanyi yang hadir malam tadi, melantunkan keroncong asli, pop keroncong, langgam bahkan lagu sunda yang dikeroncongkan.

Di buka dengan Manuk Dadali, tanpa syair alias instrumens mereka tampil memukau. Alunan flute yang di tiup Arimbo menjadi salah satu urat nadi pemanis Bintang Garut. Perhelatan ini memajang lebih dari 15 lagu dengan diakhiri lagu Kota Garut Kota Intan.

OK Bintang Garut pimpinan Ade Junaedi ini, adalah binaan ISKG (Ikatan Seniman Keroncong Kabupaten Garut) ASISENTIK (Asosiasi Seniman Musik), DKG (Dewan Kesnian Garut), DISPARSBUD) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab.Garut) serta HAMKRI Jabar. Demi penampilan yang maksimal, mereka telah sejak sore berada di RRI Bandung untuk melakukan persiapan.

H.Margono, produser Irama Keroncong RRI Bandung, bahkan malam tadi juga hadir untuk secara khusus mengawal jalannya acara, didampingi Deddy RianTama (pengarah acara). Bahkan, beberapa hari sebelumnya, Margono menyempatkan untuk koordinasi dan audisi langsung ke Garut. Hasilnya, OK Bintang Garut memang menjadi bintangnya malam tadi.



OK BINTANG GARUT
Sekretariat Perum Paseban II Blok H.No.7 Garut
0262 231623
Diambil dari: www.buayakeroncong.multiply.com







540 AM RRI BDG.jpg




OKBG1.jpg




OKBG2.jpg




AAS J & IYUS - CUK & CAK.jpg




ADANG - KEYBOARD.jpg




ARIMBO - FLUTE.jpg




SAXSOPHONE JUGA.jpg




H.AMAR & SUPARMAN - BIOLA.jpg




HENHEN - BASS.jpg




OMBI - CELLO.jpg




TONY - GUITAR.jpg




ADE JUNAEDI.jpg




AGNES.jpg




CECEP KUSTIWA.jpg




ENUNG.jpg




ISYE.jpg




PENGAMAT & PENIKMAT.jpg