Tampilkan postingan dengan label KARYA SISWA SMAN 2 TAROGONG GARUT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KARYA SISWA SMAN 2 TAROGONG GARUT. Tampilkan semua postingan

Senin, Mei 25, 2009

Diary Kelabu

Karya : Hesti Dwi Savitri

Kelas:XI Bahasa

Malam itu adalah malam yang paling gelap dari malam-malam yang pernah ada. Langit tertutup kabut hitam yang pekat. Ranting-ranting diterpa hembusan angin yang dingin. Tak ada seekor binatangpun yang keluar malam itu. Bahkan untuk binatang malam seperti kelelawar atau burung hantu sekalipun. Dunia seakan berhenti berputar pada angka 12 yang sunyi. Hanya kabut-kabut hitamlah yang turun dan bertebaran di jalan-jalan yang sepi.

Diantara rumah-rumah yang seolah tak berpenghuni, ada sebuah rumah dengan cahaya kecil di salah satu bagian yang bercahaya di rumah yang hampir gelap itu. Rumah itu adalah sebuah rumah berarsitektur kuno yang sedikit terisolir dan terletak di dekat sebuah kebun yang gelap dan tak terurus. Hanya pohon-pohon besar yang sudah tua dan semak belukar yang tinggi lah yang menjadi penghuni kebun itu. Dan dari sebuah ruangan yang dekat dengan kebun angker itulah cahaya kecil itu menyala.

Setelah dilihat lebih dekat, ada seorang gadis berpiyama biru tengah duduk di depan jendela kamarnya yang langsung menghadap ke kebun itu. Ternyata dari kamar gadis itulah cahaya itu berasal. Gadis itu menengadahkan wajahnay ke atas seolah ada sesuatu –yang biasa muncul diatas sana- yang sedang ia cari. Sementara itu sebuah buku bersampul biru dengan lembaran-lembaran bergambar bunga mawar biru tengah terbuka begitu saja ditangannya. Ada baris tanggal dan bulan yang disisipkan di sudut lembaran kertas yang terbuka itu.

Setelah lelah menengadahkan kepalanya ke atas dan menunggu yang tak kunjung muncul, akhirnya dengan helaaan napas yang berat ia mulai menaglihkan pandangannya pada lembaran buku birunya yang masih terbuka. Kemudian gadis itu pun mulai menuliskan sesuatu :

Dear diaryku yang biru…..

Yang selalu setia mendengar curhatanku

Dan menyimpan semua rahasiaku.

Rahasia dari seorang gadis kuat

Yang berhati rapuh……

Malam ini bulan yang kutunggu tak kunjung menampakkan dirinya dihadapanku. Padahal aku sangat merindukan cahayanya yang mampu mengobati duka dihatiku. Apakah ia tahu kalau hari ini aku dipecundangi sehingga dia tak mau meliahtku?

Diary, aku tak tahu harus kubawa kemana hatiku yang telah hancur ini karena pengkhianatan dari seorang sahabat yang kupercayai. Betapa teganya dia membuka rahasiaku di depan orang yang kusukai. Padahal kami sudah berjanji akan selalu menjaga rahasia kami walau apapun yang akan terjadi.

Diary yang telah menyimpan berpuluh-puluh nama Rama dan Mitha dalam lembaran-lembaran hidupku yang biru ini, kau tahu bukan bahwa tidak ada lelaki lain yang kucintai selain Rama, dan tidak ada orang lain yang sangat kupercaya selain Mitha. Mereka berdua adalah orang terpenting dalam hidupku setelah keluargaku. Dari merekalah aku belajar memahami kehidupan, dan dari Mitha lah aku belajar memahami arti sebuah kepercayaan. Tapi siang itu….,siang itu…..dengan mudahnya Mitha mengatakan bahwa Rama sudah mengetahui semua rahasiaku. Seketika itu aku aku merasakan kakiku tak lagi berpijak, tubuhku terasa lemas seiring menghilangnya kekuatan kepercayaan dari tiap sum-sum tulang dan aliran darahku, dan kemudian sebuah palu godam penkhianatan menghantam tubuhku hingga aku terhempas dengan keras dan hatiku pun hancur berkeping-keping.

Diary, untuk pertama kalinya aku menangis menahan kepedihan hatiku dihadapannya. Aku berusaha untuk kuat dan tetap tegar agar bisa mendengar penjelasannya yang mungkin bisa sedikit meringankan rasa sakit ini. Namun apa yang kudapat?! Palu godam kedua kembali menghantamku dan tak memberiku kesempatan untuk bangkit kembali. Aku terhempas ke dalam lubang kekecewaan yang amat dalam dan menyakitkan Mitha malah menyalahkanku karena aku terlalu pengecut untuk menyatakan perasaanku pada Rama. Dan di akhir gerutuannya Mitha mengatakan bahwa seharusnya aku berterimakasih padanya karena telah membantuku menyampaikan semuanya pada Rama.

Oh…..sahabatku yang baik hati dan sangat kupercaya, tega-teganya dia menuntut tanda terimakasih dari semua rasa sakit yang ia torehkan padaku. Betapa mudahnya dia menilaiku serendah itu. Dimanakah sahabat baiku yang kukenal selama ini?! Tidak ingatkah ia pada janji persahabatan yang telah kami buat dulu bahwa besar atau kecilnya rahasia yang kami miliki, kami tidak boleh mengatakannya pada siapa pu, sekalipun itu pada bayi yang baru lahir dan belum mengerti apa-apa tentang rahasia.

Diary, rahasiaku memang bukan rahasia besar yang patut dipertahankan hingga tetes darah penghabisan. Rahasiaku adalah rahasia biasa yang juga dimiliki oleh setiap oaring yang pernah memendam perasaan pada orang yang disukainya. Akan tetapi besar kecilnya rahasia, berharga atau tidaknya untuk dijaga, semua itu bergantung pada seberapa kuat kepercayaan yang dipertaruhkan di dalamnya. Aku menangis karena setengah kepercayaan yang susah-susah kubentuk kini telah hancur. Aku kecewa karenayang menghancurkannya adalah Mitha, sahabatku sendiri. Tidakkah Mitha tahu bahwa pangkal kesedihanku ini bukanlah rahasia itu, tapi kepercayaan yang kuberikan padanya seolah menguap begitu saja dari pikirannya.

Diary, ada orang yang pernah berkata padaku bahwa menghancurkan kepercayaan bukanlah sesuatu yang sulit, dan membangun kepercayaan itu bukanlah sesuatu yang mudah, tapi yang terpenting dan terberat dari semua itu adalah menjaganya, menjaga kepercayaan itu agar tetap hidup. Tidakkah ia tahu semua itu? Padahal….dari Mithalah aku mempelajari semua itu.

Diary, sekarang aku tahu bahwa waktu telah mengubah Mitha menjadi orang asing. Aku tak lagi mengenalnya. Aku tak tahu siapa gadis yang selalu duduk disampingku itu. Aku tak tahu bahwa nasib telah membawa seorang pengkhianat kepadaku. Tapi yang ku tahu sekarang hanyalah bahwa hanya Tuhan sajalah yang lebih pantas mendapatkan segenap kepercayaan dari kita. Hanya pada Tuhanlah seharusnya kita mengadu.dan menyerahkan semua rahasia kita karena hanya Dia lah yang Maha Mengetahui segala rahasia yang ada di dunia ini. Maafkan aku ya….Allah karena terlalu mengandalkan semuanya pada makhluk ciptaan-Mu.

Tapi diary, apakah harapanku tentang sahabat sejati telah berakhir?! Apakah aku takkan lagi bisa mendapatkan sahabat, ng….tidak, tapi teman, teman yang dapat kuberi kepercayaan meski tak sebesar kepercaan yang pernah kuberikan pada Mitha?! Entahlah…..aku tak tahu. Tapi yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berharap, berharap orang yang bisa kupercaya itu ada. Aku berharap suatu saat nanti akan datang seorang teman yang baik, yang bukan hanya bisa kupercaya tapi juga bisa menepati janjinya. Aku berharap orang itu bisa memahamiku sehingga dia takkan salah menilaiku atau pun menilai cintaku, dan juga segala hal yang kulakukan. Aku berharap dia takkan mengecewakanku dan mengkhianatiku. Aku juga berharap dia takkan mengataiku pengecut meski kadang aku sedikit penakut. Tapi aku juga lebih berharap dia bisa lebih jujur dan tulus dalam berteman denganku. Aku berharap…….aku berharap……..semua itu akan terjadi………

Perlahan gadis itu mulai memejamkan matanya. Pena biru terlepas dari tangannya. Dan tak lama kemudian gadis itupun terlelap bersama asa yang masih tertinggal dalam tiap baris buku biru yang kelabu. Ada setetes bening kecil di sudut matanya yang tak terjatuh. Hanya bening terakhir itulah yang tersisa dari segala kepedihan yang ia rasakan hari ini.

Malam pun kian pekat. Kabut hitam semakin tebal. Dan dunia pun semakin larut dalam kegelapan. Akan tetapi tak selamanya gelap itu ada. Akan tiba masa dimana langit kan cerah, kabut-kabut hilang dan berganti dengan cahaya matahari yang terang. Ketika seseorang menghadapi masa tergelap dalam kehidupannya, maka sesungguhnya ia telah dekat dengan kebahagiaan. Itulah kehidupan.

****

Type equation here.

Selasa, Mei 12, 2009

SENYUM DARI PERPISAHAN

NAMA : FITRIA VITAMAYA
KELAS : XI-BAHASA

Dalam hidup ini pasti akan ada yang namanya perpisahan. Dimana ada pertemuan pasti nantinya akan terjadi perpisahan. Perpisahan adalah hal yang memisahkan kita dengan suatu pertemuan dan perkenalan. Entah perpisahan yang bahagia ataupun menyedihkan. Perpisahan yang diwarnai dengan senyuman yang indah dan tulus atau perpisahan yang dihiasi oleh butiran-butiran air mata pilu. Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya. Perpisahan di dunia hanyalah dinding pemisah sementara yang selalu akan terjadi dalam hidup kita di dunia.Karena perpisahan pastilah ada hikmah dan makna yang terkandung di dalamnya.
Seperti yang aku alami, dulu. Aku brpisah dengan sahabat yang sejak kecil sudah akrab denganku. Aku mengenalnya waktu aku masuk SD dan setelah beberapa lamanya aku pun lamanya aku pun akrab dengannya. Bermain bersama, belajar bersama, kita selalu dekat. Aku berpisah dengannya karena aku harus pindah ke luar kota yaitu Bandung karena mengikuti orang tua. Jauh sekali dengan tempat tinggalku yang berada di wilayah Semarang. Orang tuaku berniat untuk pindah ke Bandung karena ada berbagai pertimbangan. Salah satunya yaitu menurut papaku agar kita bias merawat nenek yang tinggal di Bandung sana. Menurutku pandapat papa ada benarnya juga, selama ini keluargaku jarang sekali mengunjungi apalagi merawat nenek, karena jarak dari Semarang ke Bandung sangat jauh.
Tapi, setelah aku ingat bahwa aku harus berpisah dengan sahabatku rasanya aku tidak ingin mengikuti orang tuaku untuk pindah dan ingin tetap di sini bersama sahabatku. Aku merasa tidak bisa kehilangan sahabat kecilku. Aku juga sedih karena harus berpisah dengan semua teman-temanku yang sudah aku kenal sejak kelas 1 SD. Selain itu, aku pun sudah merasa betah tinggal di kota ini, lota yang sudah kutempati sejak aku masih kecil. Pokoknya banyak sekali hal yang membuat aku merasa berat meninggalkan kota ini untuk pindah.
Aku pun tak bisa berbuat banyak, aku hanya bisa pasrah menghadapi perpisahan ini. Aku hanya bisa mengikuti papa dan mamaku untuk pindah dari kota yang tercinta ini.Lagipula aku juga tidak bisa jauh dari keluargaku, jika aku tetap tinggal di sini. Karena keluarga tetaplah menjadi prioritas dalam hidup ini. Namun tetap saja, yang harus aku hadapi dalam waktu dekat ini adalah sebuah perpisahan yang mungkin menyedihkan.Yang hanya ada air mata mengalir tanpa ada senyuman menghiasi semua perpisahan ini.
***
Bel istirahat pun berbunyi. Semua teman keluar kelas untuk mengisi perut yang lapar dengan makanan. Kecuali aku, Gilang, dan Reni.
“Disa, kenapa sih kamu harus pindah. Jauh lagi pindahnya, ke Jawa Barat sana. Kamu udah nggak betah lagi ya tinggal di sini?” Tanya Reni sahabatku. Aku dekat sekali dengannya, walaupun kami berbeda agama tapi kami sangat akrab. Ia pandai sekali menyanyikan lagu-lagu daerah dengan suaranya yang merdu. Ia pun pernah mendapat juara dalam lomba menyanyi lagu daerah. Kami sering sekali pulang sekolah bersama, bermain bersama walaupun rumahku dengannya lumayan jauh.
“Aku bukannya udah nggak betah tinggal di sini. Tapi aku pindah karena orang tuaku yang pingin pindah ke Bandung. Justru aku masih betah kok tinggal di sini.”
“ Ya udah, kamu tinggal di sini aja sama kita, nginep di rumah aku. Biar kamu nggak jauh dari kita, nanti kalau kamu pindah aku sebangku sama siapa dong?!” Sambung Gilang, teman sebangkuku. Gilang juga sahabatku yang baik. Orangnya lucu dan tomboy tapi rambutnya panjang sepunggung. Jika aku diganggu oleh teman laki-laki yang nakal, pasti dia yang pertama membelaku dan memarahi teman nakal itu. Dia memang anak pemberani sehingga sedikit ditakuti oleh teman laki-laki. Ia pindahan dari Lampung sejak kelas 4, tapi waktu itu aku belum akrab dan tidak sebangku dengannya. Entah kenapa, sejak awal kelas 5 aku jadi dekat dan akhirnya duduk sebangku dengannya.
“Ya nggak bias dong, masa aku tinggal jauh dari keluargaku. Aku kan nggak bias jauh-jauh dari mama dan papaku. Aku bias nangis terus deh. Nanti kamu kan bisa sebangku sama Reni dulu, ya kan?!” Terangku menjelaskan.
“Jadi nanti kita jauh banget dong, nggak bias sama-sama lagi.” Ucap Reni dengan raut muka yang sedih.
“Iya, nanti kita nggak bisa main sama-sama lagi, belajar bareng kayak dulu lagi.” Ujar Gilang dengan wajah yang sendu.
Fuhh…aku jadi merasa sedih jika melihat muka Reni dan Gilang yang sedih itu. Aku juga sebenarnya sedih jika membicarakan perpisahan ini, rasanya ingin menangis saja. Tapi, di hadapan kedua sahabatku aku berusaha menyembunyikan kesedihanku agar suasana tidak terlalu sedih. Aku tidak mau sahabat-sahabatku sedih hanya karena kepindahanku. Beberapa menit lamanya semuanya terdiam, seperti sedang merenungi dan memikirkan solusi dari permasalahan ini. Termasuk aku. Aku memutar otakku untuk mencari solusi yang tepat agar perpisahan ini tidak menjadi perpisahan yang menyedihkan. Aku ingin perpisahan ini penuh dengan senyuman yang tulus bukan air mata yang menetes. Akhirnya setelah terdiam cukup lama, aku menemukan suatu solusi yang menurutku bagus. Solusi itu adalah…
“Hemmh…gini aja. Gimana kalau setelah aku pindah dan udah nyampe di Bandung. Kita surat-suratan aja, aku duluan deh yang nyuratin kalian. Sekalian ngasih alamat yang aku tinggali nanti. Tapi nanti kalian juga harus ngebales surat aku. Gimana ide aku?” Jelasku panjang lebar serta semangat 45 kepada mereka.
“Ide bagus. Duh, kamu kok pinter banget sih Dis!” Seru Gilang senang mendengar ideku.
“Iya ya, kenapa nggak kepikiran dari tadi sih. Kita surat-suratan aja, jadi kita tetep ngerasa deket walaupun kita jauh.” Ucap Reni sambil menunjukkan senyumannya yang mengembang.
“Jadi, kalian setuju nih ya sama ideku. Sekarang aku jadi nggak sedih lagi kalau pisah sama kalian, tadinya aku sedih banget karena merasa aku nggak bakalan sanggup pisah dari kalian. Tapi, setelah ada solusi ini kita nantinya nggak merasa jauh walaupun kita terpisah oleh jarak .” terangku.
“Hmmh, bener. Kita juga jadi ikhlas ngelepas kamu waktu kamu pindah ke Bandung nanti. Iya nggak?!” Gilang langsung melirik ke arah Reni guna membenarkan perkataannya.
“Yee, emang aku burung apa, pake dilepas segala. Dilepas buat pergi ke Bandung gituh!” seruku pada Gilang dengan nada bercanda.
“Emmmang…” teriak Gilang dan Reni kompak.
Dan kami pun tertawa bersama sambil melepaskan segala kesedihan dan kepenatan yang ada dalam hati. Lega rasanya melihat kedua sahabatku itu kembali menunjukkan senyumnya yang manis. Karena sebelumnya hanya wajah yang terlihat sedih dan bingung yang ditunjukkan oleh mereka. Satu rasa kesedihanku akan perpisahan saat ini hilanglah sudah, yang ada saat ini hanyalah kebahagiaan. Hanya ada senyum yang manis dan suara tertawa yang riang siang ini. Tapi entah, apakah kebahagiaan ini akan terus ada selama aku akan mengalami sebuah perpisahan. Hatiku sendiri pun tak bisa menjawabnya, dan pertanyaan itu masih terus menakuti diriku.
“Teng...teng…teng…teng…”. Bel tanda berakhirnya waktu istirahat pun berbunyi. Mengakhiri perbincangan yang berkesan antara 3 sahabat. Reni segera pindah ke bangkunya sendiri yang berada di sebelah bangkuku dan Gilang. Aku dan Gilang juga segera mengeluarkan buku pelajaran yang akan dipelajari siang ini.Walaupun kami tidak sempat ke kantin untuk mengisi perut yang kosong, tapi rasanya aku sama sekali tidak merasa lapar. Karena perbincangan dengan sahabatku tadi sudah cukup membuat aku merasa kenyang.
***
Hari ini, hari terakhir aku bersekolah. Karena besok aku akan meninggalkan semua kenangan di kota kecil yang tercinta ini. Besok aku akan pergi menuju ke kehidupan baru, dan pastinya kota yang baru. Segalanya baru, lingkungan baru, teman baru, tetangga baru, sekolah baru, dan rumah baru. Aku akan menjalani semua kehidupan baruku dengan semangat yang baru pula. Everything is new!
Sekolah hari ini kujalani dengan semangat karena ini hari terakhir aku bersekolah di sini. Sampai jam pelajaran terakhir semuanya berjalan lancer. Namun ketika bel pulang berbunyi, ketua kelas tiba-tiba menyodorkan sebuah kado berbentuk kotak kepadaku. Aku kaget bukan main karena ini bukanlah hari ulang tahunku, tapi kenapa Vendi, ketua kelasku memberikan kado kepadaku?
“Ini kado dari teman-teman sekelas. Kado tanda mata perpisahan, besok kan kamu pindah. Ini kenang-kenangan dari kita untuk kamu. Nih terima”.
“Ohh, terima kasih ya!” jawabku dengan nada ragu-ragu karena tak percaya akan semua ini. Setelah itu, beberapa teman menghampiriku dengan membawa kado masing-masing dan memberikannya kepadaku. Kedua sahabatku pun juga memberikan kado padaku.
“Makasih, makasih ya!” Berpuluh-puluh kali kata terima kasih aku ucapkan pada teman-teman yang memberikanku kenang-kenangan dengan memperlihatkan senyum yang ramah dan manis. Sebenarnya aku ingin menangis terharu tapi aku tahan karena aku tidak mau menangis di depan teman-teman.
Setelah itu, aku pun bersiap pulang dengan membawa kado kenang-kenangan. Banyak sekali kadonya. Jujur, aku kesulitan untuk membawa kado-kado ini apalagi jarak rumah dengan sekolahku lumayan jauh. Tapi aku berusaha untuk membawanya. Saat aku akan melangkah, teman-teman mendatangiku dan kemudian menolong membawakan kado.
“Dis, sini aku Bantu bawa kadonya. Kita mau nganterin sampe rumah sekalian perpisahan. Boleh kan?!”. Tanya Mariana, temanku.
“Boleh, boleh. Yuk!” Kami pun segera berjalan menuju rumahku sambil bercengkrama.
Sesampainya di rumah, aku pun masuk ke rumah untuk meletakkan barang-barangku. Teman-teman menungguiku di teras rumah. Mungkin mereka tidak enak untuk masuk ke dalam rumahku, karena memang isi rumahku sangat berantakan oleh barang-barang yang akan dibawa pindah. Kemudian mamaku menghampiriku dan bertanya.
“Teman-temanmu datang ya, ya udah diajak masuk aja. Nanti mamah bawain makanan sama minumannya.”
“Oh iya mah.” Ujarku sambil tersenyum gembira. Aku kira mamah tidak akan mengizinkan teman-teman masuk karena melihat kondisi rumah yang berantakan.
“Eh, mau masuk dulu nggak. Kalian capek kan jalan dari sekolah sampai rumahku. Kita makan sama minum dulu, yuk!” ajakku.
“Tapi nggak ganggu nih, Dis. Mama sama papamu pasti lagi beres-beres. Nanti kita bikin repot lagi.” Kata Tika temanku.
“Nggak apa-apa kok, lagian mama sama papa lagi istirahat sekarang. Bener deh, nggak bakalan ganggu dan ngerepotin. Tapi nggak apa-apa kan rumahku berantakan gini.” Bujukku meyakinkan.
“Nggak apa-apa. Namanya juga orang mau pindah.” Kata Gilang.
Akhirnya semua temanku mau juga untuk masuk ke dalam rumahku. Kami pun duduk lesehan beralaskan tikar di ruang tamu. Aku berjalan menuju dapur untuk membantu mama membuat minum dan membawakan makanan kecil. Sementara itu, teman-teman asyik mengobrol di ruang tamu sambil menungguku datang.
“Duh, udah nunggu lama ya. Ini, dimakan ya cemilannya sama minumannya. Maaf ya, rumahnya kayak kapal pecah.” Kata mama ramah sambil meletakkan beberapa gelas dan sepiring makanan ke lantai.
Setelah itu, aku pun ikut bergabung duduk dengan teman-temanku untuk bercengkrama dan menikmati cemilan. Beberapa makanan kecil memang belum disiapkan untuk dibawa, mungkin akan disiapkan besok pagi hari atau nanti malam. Tidak lama saat aku asyik ngobrol, mama dating dengan membawa sebuah kamera foto.
“Dis, nih kamera buat foto-foto sama temen kamu. Sekalian kan buat kenang-kenangan.” Kata mama padaku di hadapan teman-teman.
“Oh, tapi tolong fotoin ya mah!” pintaku pada mamah.
Aku pun mengajak teman-teman untuk berpose. Aku melihat raut muka teman-temanku yang begitu senang, aku juga. Karena ini untuk kenang-kenangan agar aku tidak lupa dengan wajah temanku setelah aku pindah nanti. Kami segera bergaya dengan gaya masing-masing, beberapa orang berdiri dan beberapa lagi duduk. Memasang senyum termanis dan bahagia agar wajahnya terlihat cantik di foto nanti.
“Satu, dua, tigaa!” Mama memberi aba-aba tanda akan difoto. Dan….klik! Cahaya keluar dari foto menyilaukan mataku. Senang rasanya berfoto ria dengan teman-teman, apalagi untuk kenang-kenangan perpisahan. Tidak cukup satu foto, kami pun berpose kembali untuk mengambil beberapa foto. Yang tadinya duduk sekarang berdiri, begitu juga sebaliknya. Pokoknya berbagai pose kami lakoni demi hasil foto yang bagus.
Setelah 1 jam, teman-teman pun berpamitan pulang karena hari memang sudah sangat sore, jam menunjukkan pukul 5 sore. Setelah berpamitan dengan mama dan papaku, teman-teman keluar dari ruang tamu menuju teras rumah. Kami pun mengucapkan salam perpisahan lagi di sana….
“Dis, selamat tinggal ya. Kamu baik-baik di sana, semoga kamu dapat temen yang banyak juga di sana.” Ujar Tika.
“Kamu juga jangan lupa kasih kabar ke kita ya. Kirim surat ke kita semua.” Kata Dewi.
“Iya, iya. Aku pasti nanti bakalan kasih kabar kok ke kalian, ke temen-temen sekelas. Nggak bakalan lupa deh.” Aku meyakinkan teman-teman.
“Oh ya, kan di sana pasti kamu diajarin bahasa sunda tuh, semoga kamu bias cepet bias belajar b.sunda ya. Habis itu, ajarin ke kita deh, misalnya lewat surat kamu tulis bahasa sunda gitu.”
“Oke deh, kalau aku udah bisa nanti aku ajarin kalian sampai bisa. Walauun hanya lewat surat.” Ucapku.
“Dan jangan pernah kamu lupain kita ya Dis kalau kamu udah tinggal di Bandung nanti. Temen-temen kamu, guru-guru di sekolah, semuanya yang ada di sini. Kita juga nggak bakalan lupain kamu kok.” Kata Reni.
“Iya, aku nggak lupa sama kalian. Nggak akan pernah, aku janji. Makasih ya sama semua kebaikan kalian ke aku. Aku seneng banget punya temen kayak kalian yang perhatian dan baik sama aku. Nggak mungkin aku lupa sama kalian semua.” Kataku haru. Dan satu persatu teman-temanku menjulurkan tangannya kepadaku untuk bersalaman sambil mengucapkan kata perpisahan. Aku hanya bias tersenyum melihat teman-temanku yang melangkah pergi jauh dari rumahku untuk pulang ke rumah masing-masing.
Betapa beruntungnya aku mendapat teman-teman yang baik seperti itu. Aku ingin terus bersama mereka, bermain, bercanda bersama mereka. Andai aku bisa terus bersama mereka, hidup bersama mereka.Andai papa dan mamaku tidak memutuskan untuk pindah rumah. Mungkin perpisahan ini tak kan pernah terjadi dalam hidupku. Tak akan pernah! Namun kemudian aku sadar akan segala kenyataan yang menghampiriku. Kenyataan bahwa perpisahan ini memang akan dan telah terjadi.
Aku sadar bahwa di dunia ini harus ada yang namanya perpisahan. Tidak mungkin jika di dunia ini sama sekali tidak perpisahan. Tidak ada gunanya aku beranda-andai seperti ini, membayangkan sesuatu hal yang tidak akan mungkin berubah dan terjadi. Yang harus aku pikirkan saat ini adalah kehidupanku selanjutnya, yang akan ku jalani nanti. Dimana aku harus berjuang meneruskan hidup dan tak terpengaruh oleh masa lalu termasuk perpisahan ini. Lagipula masih banyak solusi yang dapat aku lakukan untuk mengobati rasa kangen pada teman-temanku. Berkirim-kiriman surat, membayangkan kenangan indah yang terekam, juga foto-foto perpisahan tadi. Aku harus bangkit dari perpisahan ini, aku tak mau terbawa arus kesedihan mendalam yang semakin mendingin di hatiku. Aku harus semangat!
***
Malam terakhir di rumahku, aku menghabiskan waktu untuk membantu mama membereskan segala barang-barang yang masih ada di rumah. Aku dan mama membungkus gelas dan piring dengan koran, sementara papa mengangkat lemari pakaian dari kamarku ke ruang tengah agar lebih mudah dipindah besok. Sambil membungkus piring dan gelas, mataku menerawang melihat dinding tembok rumah, atap rumah, seluruh isi rumah aku pandangi. Agar aku tak lupa dengan rumah ini saat aku menempati rumah baruku di Bandung.
Dalam hati aku mengucapkan selamat tinggal pada rumahku ini. Rumah ini setelah bertahun-tahun sudah menjadi saksi bisu akan semua kejadian yang terjadi di sini. Dari aku bayi sampai aku besar rumah ini terlihat setia dan kokoh menemani perjalanan hidupku dan juga keluargaku. Aku tidak akan menangis lagi, aku tidak ingin meneteskan air mata lagi, mataku sudah terlalu sakit untuk mengeluarkan air mata sedih. Kalaupun aku menangis, air mata itu bukanlah dari perasaan sedih melainkan air mata haru. Terharu karena memikirkan semua yang ada di sini, orang-orang yang begitu perhatian padaku, lingkungan di sekitarku yang sudah menemani dalam setiap langkahku. Aku tidak akan begitu saja melupakan semua kenangan yang terlahir di sini. Karena aku merasa semua yang ada di sini adalah barang yang berharga dalam pikiranku, tak mungkin aku membuangnya begitu saja.
Aku akan meninggalkan semuanya di sini, kenangan yang tertanam di tanah ini. Aku berharap di suatu saat nanti aku bisa mencabutnya dengan hati yang gembira, yang telah tumbuh subur di tanah tercinta ini. Selamat datang perpisahan yang akan menjemputku ke kehidupan baru yang akan kulangkahi. Aku akan menyambutmu dengan hati yang tulus ikhlas dan dengan senyuman bahagia yang akan menyinari langkah selanjutnya. Selamat tinggal semuanya, selamat tinggal. Goodbye all my love…..!


*…the end…*

Kamis, April 30, 2009

Kapan Badai Kan Berlalu…?

Karya:Nur Diana W. Satia
Kelas XI Bahasa

Hidup ini sebuah fenomena
Tak sedikitpun kita bisa untuk mengelak

Pohon ini tumbuh dengan sempurna
Dedaunan yang lebat melengkapi hidupnya
Bunga-bunga indah menghiasi kesempurnaannya
Bunga-bunga itu mulai berubah menjadi buah segar
Sebagai pelengkap kesempurnaan dalam hidupnya
Kehidupan indahlah yang melekat ditakdirnya.

Namun, tak selamanya kehidupan indah
Mengiringi kesempurnaan itu.

Musim mulai berganti
Badai mulai menghampiri
Pohon ini mulai gelisah meresah
Kemana dedaunan yang lebat itu
Mengapa bunga-bunga itu tak lagi bersemi
Tak bisakah tumbuh lagi buah yang segar itu
Mana kesempurnaan yang dulu melengkapi hidup ini
Kapankah badai ini kan berlalu
Kembalilah seperti dulu.

Benci

Karya: Nur Diana W. Satia
Kelas XI Bahasa

Gemerlap embun di pucuk pagi hari
Bukanlah kabut yang menyelimuti hati

Takkan pernahlah sari di ujung pati
Selama hati masih terkunci

Ketika benci membakar diri,
Sendiri sepi yang tiada arti
Tak kau lihat daun melambai indah
Tak kau rasa bunga semerbak mewangi

Benci bukanlah penghias diri
Walau benci pelampias hati
Tapi benci tetaplah perusak hati

Sebelah Hati Yang hilang

Oleh : Nur Diana W. Satia

“Kekuarga adalah harta yang begitu berharga. Dan orang tua bagaikan sebuah hati yang menjadi pengokoh kehidupan. Tentunya bagiku juga. Tapi, bagaimanakah jika sebelah hati yang kita miliki hilang ? Apakah kehidupanku masih tetap kokoh? Dan apakah hidupku masih begitu kuat walau hanya dengan sebelah hati yang kumiliki? Kini biarlah waktu yang menjawab semua pertanyaanku ini…”

Aku terdiam membisu di dalam sebuah ruangan yang tak ada satu orangpun di sana. Hanya ada benda-benda mati yang menjadi saksi bisu dari guncangan hati yang kurasakan. Suara tangisan duka terdengar samar dari luar sana. Dentingan waktu yang mengiringi sebuah lamunan dari pikiranku. Pikiranku menerawang pada suatu kejadian dini hari tadi, pukul 01.30.

“Mah…mah..mamah…bangun…” aku mengisak tangis ketika melihat sesosok orang yang sangat berarti dalam hidupku tertidur begitu lelap dengan senyuman indah dan tenang yang melekat di wajahnya. Aku mencoba untuk membangunkannya berkali-kali, namun ia sama sekali tidak membangunkan mata dari tidurnya. Aku mencoba untuk meredakan tangisku dengan berfikir positif bahwa ia hanya benar-benar terlelap dalam tidurnya saja. Aku pegang tangannya, lemas, dingin, mengapa?

Aku bertanya pada kakak perempuanku yang sejak tadi hanya berdiri mematung dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Kak, kenapa mamah engga bangun-bangun ka?”. Diam, tak ada jawaban atas pertanyaanku. Ketika kulihat dia hanya tersedu menagis seperti sebelumnya.

Perasaanku mulai tak karuan dan begitu kacau. Ketika terlintas di benakku bahwa Mama sudah meninggalkanku, meninggalkan kami, meninggalkan dunia ini. Dan ketika itulah aku merasa kaku di sekujur tubuhku. Aku melihat sesosok Ibuku yang terbaring tak bernyawa dengan hati yang hampa. Betapa malang nasibku, baru saja tadi malam aku bergurau sama Mama dan tidur sama Mama, sekarang…dengan begitu tenangnya Mama meninggalkan aku!Batinku berkata.

Aku berlari menuju kamar Appa dan membangunkannya. “Pa…appa, bangun appa….bangun…” aku membangunkan appa sambil menangis tersedu-sedu.

“Ada apa, kenapa sih…?”Appa terbangun dan melihatku menangis.”Kamu kenapa nangis?”

Dengan nada berat dan terbata-bata, aku menjawab.”Appa, mama pa…mama…”

“Mama, kenapa mama?”

“Mama, mama engga bangun-bangun pa…”

“Ngga bangun gimana?”

“Ayo, Appanya ikut…liat mama pa,liat…”

Aku dan Appa segera melihat Mama di ruang depan. Ketika Appa melihat Mama yang terlihat begitu pucat, Appa mencoba untuk tidak panik sepertiku. Dengan tenang Appa memeriksa denyut nadi Mama. Tapi, tiba-tiba Appa meneteskan sedikit air mata dan mencoba untuk membangun-bangunkan Mama. Appa melihat ke arah aku dan Kakak, lalu Appa berkata bahwa Mama sudah meninggal. Meninggalkan kami semua. Begitu terasa hancur hatiku mendengar perkataan Appa. Begitupun kakakku, merasakan hal yang sama denganku. Dan kami menangis diiringi rasa sakit yang menusuk di hati. Kakak merangkul tubuhku dan mencoba mengajakku untuk tegar. Walaupun terus ku berusaha setegar mungkin, tapi tetap saja aku begitu rapuh. Menerima kenyataan di usiaku yang ke lima belas, aku harus kehilangan Ibuku. Lalu,bagaimana aku menjalani kehidupanku selanjutnya tanpa Mama?Batinku berkata. Aku, Appa, dan Kakakku, kami bertiga mengharu biru dalam hati.

“Ya Allah, mengapa Engkau begitu cepat menjemput Ibuku disaat aku benar-benar merasakan kasih sayangnya yang begitu mengalir untukku?”Aku bergumam dalam lamunanku. Dan aku baru tersadar dari lamunanku ketika Kakak memanggilku.

“De, kamu ngapain di sini sendiri. Ayu, kamu ikut ke mesjid. Kita kan mau menyolatkan dulu mama…”Kakak mengajakku ke mesjid. Sedangkan aku, aku hanya menatap Kakak dengan tatapan kosong. Tetapi dalam batinku, ”Ya Allah inikah yang harus aku lihat sekarang? Yang biasanya aku selalu melihat mama ketika sedang shalat, sekarang aku harus melihatnya dishalatkan.”

“De…Ade…ko malah bengong, ayo kita ke mesjid…De,Ade…!!”

“Ah,oh, iya ka, sebentar ade mau ke kamar mandi dulu ambil wudlu.”

“Ya udah cepetan, kakak tunggu di depan ya, soalnya yang laen udah pada ga ada.”

“Iya.”

Aku tertegun sebentar melihat Kakakku bisa setegar itu. Tapi mengapa aku tetap saja merasa rapuh. Hmm…benar-benar rapuh.

###

Pukul 11.15, kami berangkat menuju Malangbong untuk memakamkan Mama di pemakaman keluargaku. Selama di perjalanan, aku hanya diam, diam, dan diam saja. Hanya satu kata saja yang sempat aku ucapkan. MAMA. Ketika aku melihat ambulance yang berjalan di depan mobil yang kunaiki, secara spontan aku bilang Mama sambil menitikkan air mataku kembali. Aku bertanya,”Kenapa ku teteskan kembali air mataku ini? Mama, biarkanlah aku mengantarmu pergi dengan senyuman ketegaran. Tapi, kenapa setiap aku ingin seperti itu, justru air matakulah yang menitik.”

Sesampainya di tempat pemakaman, Kakak Mamaku terus merangkul aku berjalan menuju makam. Sungguh lemas jalan yang aku tapakkan. Aku benar-benar tak kuasa mehahan air yang mengalir dari mataku ini. Sedih…pedih…

Mama dimasukan ke dalam liang lahat yang mengapit tubuhnya yang dulu selalu memelukku hangat. Sedikit demi sedikit, tanah merah itu menutupi raganya. Astagfirullah…inikah kenyataan yang harus aku hadapi? Melihat mama tertimpa tanah merah yang sama sekali tak pernah kukira sebelumnya. Aku mulai merasa pusing karena menangis terus, tubuhku terasa lunglai melemas dan aku tak kuat berdiri berada di sana. Aku hampir terjatuh, namun Kakak laki-lakiku dan Appa segera merangkul tubuhku dan membawaku sedikit ke belakang.

Kini hanya tanah merah yang ditancapi padung yang bisa kulihat, tak ada lagi Mama yang tersenyum manis padaku. Aku menaburkan bunga di atas tanah makam Mama sambil menahan air mataku agar tidak menetes di tanah makam Mama. Karena di masa hidupnya, Mama pernah bilang kalau Mama meninggal jangan biarkan air mataku menetesi makamnya, karena itu akan memberatkan kepergiannya.

Pukul 17.30 kami sampai pulang dari Malangbong. Aku berjalan menuju gerbang rumah dengan lemas. Ketika sampai di pelataran rumah, aku menatap daun pintu rumahku. Nanti, ketika aku pulang sekolah takkan ada lagi Mama yang tersenyum menyambutku. Gumamku dalam hati. Hatiku begitu terasa ketir ketika melangkahkan kakiku di ruang depan. Teringatku ketika tadi malam aku masih bersenda gurau di sini. Foto-foto Mama masih terpajang manis di dinding. Dan mengalirlah lagi kesedihan dalam hatiku. Mulai sekarang hingga nanti, rumah ini akan terasa begitu sepi tanpa kehadiran Mama di sisiku. ”De, mulai sekarang kita sama-sama bersabar dan tawakal menjalani kehidupan ini ya… Yu, sekarang kita masuk, kita siap-siap buat acara tahlilan…”dengan sikap kedewasaannya, Kakak mencoba untuk menenangkanku.

Setelah tiga hari tidak masuk sekolah karena masih berkabung, pertama masuk lagi sekolah aku langsung mendapatkan ucapan-ucapan berduka dari teman-teman yang belum melayad. Langkahku menuju koridor, aku langsung bertemu dengan seseorang di ujung koridor. Dia tersenyum padaku, dan aku membalasnya dengan sedikit senyuman yang berat. Yang aku dapatkan dari tatapan matanya adalah ucapan turut berduka yang dia ucapkan dalam hatinya. Walaupun aku tidak mendengarnya langsung, tapi aku yankin itu. Karena kutahu mata bisa berbicara apa yang ada dalam hati. Dia adalah seseorang yang sangat special dalam hatiku. Meskipun aku tidak begitu dekat dan kenal dengannya, tapi hanya dialah yang selalu ada dalam hatiku. Bahkan sampai sekarang ketika aku menulis cerita ini.

###

Dua bulan sudah berlalu dari hari meninggalnya Mama. Selama dua bulan itu aku mealalui masa-masa Ujian Akhir Nasional dengan hati yang berusaha pulih dari kesedihan. Awalnya aku ragu untuk menjalani UAN dengan kondisi pikiranku yang sedang kacau. Tapi, syukur Alhamdulillah aku bisa melaluinya dan berhasil lulus dengan hasil yang memuaskan.

Ketika menerima surat kelulusan dari wali kelasku, aku merasa sangat sedih sekali. Karena di hari yang bahagia ini Mama tidak ada di sampingku, memelukku dan mengucapkan selamat padaku. Tapi aku segera menepis jauh perasaan sedihku itu. Kasihan Mama di alam sana kalau melihatku terus bersedih. “Mah, semoga mama tersenyum dan ikut merasakan perasaan senang yang ade rasakan sekarang ya mah…”aku bergumam sendiri dengan mata yang menerawang.

Beberapa hari setelah pengumuman kelulusan, aku merayakannya bersama keempat sahabatku, yaitu Tya, Sya, Tari dan Giz. Kami jalan-jalan ke tempat-tempat yang biasa kami kunjungi. Mereka berusaha untuk terus menghiburku yang sejak tadi terus berdiam diri dan melamun. Tya yang pertama menghiburku. ”Ne, udah dong…jangan sedih mulu. Sekarang kitakan lagi bahagia gitu…mendingan sekarang kita seneng-seneng dulu. Simpan dulu aja kepenatan yang pernah ada, ya Ne.. Ntar kalo Nenek sedih mulu, mamanya juga sedih lho..” Sedikit demi sedikit akupun mulai tersenyum. Mereka memang paling bisa membuat aku tertawa. Dan mereka juga pinter banget untuk ngasih aku nama panggilan kesayangan mereka. “Nenek”panggilan itulah yang mereka berikan untukku. Alasannya, katanya sih aku tuh so tau, omongannya kaya nenek-nenek, dan terlalu banyak pepatah-pepatahnya. Ah,,,padahal menurutku sih, merkalah yang aneh. Hihi..

Setelah hari pengumuman kelulusan itu, selama beberapa minggu, aku menunggu hasil keputusan dari pendaftaran aku ke SMA. Dan akhirnya pada tanggal 11 Juni 2007, keluarlah keputusan tersebut bahwa aku telah diterima di SMA yang sekarang menjadi tempat aku sekolah.

Hari pertama aku masuk sekolah di SMA, aku mendapatkan teman-teman baru dan tentunya seragam baru juga. Pertama aku melangkahkan kaki di gerbang sekolah baruku, aku bergumam dalam hati seperti biasanya.”Ma, sekarang mama harus tersenyum ya melihat ade yang tersenyum juga. Sekarang ade sangat senang ma, akhirnya ade sekolah di SMA yang ade mau. Yah…walaupun Appa katanya sedikit menyesal ade ngga masuk SMA yang Appa inginkan..” Aku tersenyum-senyum sendiri sambil berjalan dan menerawangkan pandangan ke seluruh pelosok sekolah baruku. Lalu, aku tertunduk dan melihat-lihat seragam putih abuku yang masih baru. Hihi…lucu rasanya ngeliat aku pake baju ini! Batinku berkata. Dan ketika aku mengembalikan arah pandanganku lagi ke depan, tiba-tiba aku tertuju pada seseorang yang tentunya sangat aku kenali posturnya. ”Dia!!!Why…kenapa dia juga sekolah di sini? Ternyata jadi juga dia sekolah di sini. Aduh…Gimana nih aku nervous banget kalo mesti jalan ngelewatin dia sendirian..” Aku terkejut melihat dia yang juga satu sekolah lagi denganku. Dan aku sangat deg-degan ketika dia ada di tempat yang akan aku lewati menuju kelasku, soalnya dia menempati kelas yang letaknya sebelum kelasku. Dan itu….itu artinya…aku harus melewati kelasnya setiap hari! Waduh…OMG (Oh My God), kenapa harus seperti ini. Aku terus berfikir bagaimana caranya agar aku dapat melewati kejadian itu. Akhirnya aku hanya berjalan sambil menunduk saja untuk menghilangkan rasa nervous.

###

Tepat tanggal 28 Maret tahun 2009 ini adalah dua tahunnya Mama meninggal. Dan berhubung aku sedang mengikuti UTS, aku dan keluarga tidak pergi ziarah ke Malangbong. Selama dua tahun sepeninggalnya Mama, aku menjalani hidup yang benar-benar beda. Aku hanya sendiri di rumah, tidak ada teman buat ngobrol. Memang sih, sebenarnya di rumah aku bertiga bersama Appa dan pamanku, karena keempat kakakku berada di luar kota. Tapi, tetap saja mereka kan laki-laki, susah untuk diajak ngobrol yang sedikit privasi.

Pada awalnya, aku merasa mulai bisa meski hidup tanpa Mama, karena masih ada Appa yang memberikan perhatian yang cukup untukku. Appa masih bisa memanjakan aku, selalu ada di saat aku butuh, dan bisa mengisi rasa kehilanganku atas kepergian Mama. Dan aku mengurus Appa dan rumahpun, sama sekali tidak terasa berat lagi karena sikap Appa juga yang sayang padaku. Tapi, semakin lama Appa mulai berkurang perhatiannya padaku. Appa mungkin sudah mulai merasa sepi hidup sendirian menjadi duda selama dua tahun ini. Akupun sedih juga kalu melihat Appa sedang termenung sendiri di ruang depan sambil menatap foto Mama. Hatiku benar-benar terasa sakit.

Ketika suatu waktu dalam diskusi keluarga. Kami kelima anak Appa, berbicara sudah mulai merestui apabila Appa mau menikah lagi.

“Pa, kami juga tidak apa-apa kalu Appa mau menikah lagi. Karena mau bagaimanapun Appa masih butuh pendamping. Appa juga kan sudah 63 tahun, diusia segitukan Appa tidak bisa terus sendiri, apalagi nanti Neng sama Ade juga kan akan berumah tangga.” Kak David, kakak pertamaku mewakili pembicaraan kami berempat.

“Yah, memang Appa ini akan semakin tua, tapi sekarang kan Appa masih kuat… Appa akan menikah lagi kalau kalian semua merestui Appa. Dan Appa cuma mencari istri yang janda juga sudah tidak ada tanggungan lagi, yang anak-anaknya sudah besar. Biar Appa hidup menjalani masa tua bersama.”

“Kalau memang Appa berniat seperti itu, tentu saja kami merestui. Asalkan istri Appa nati sayang sama Appa dan tidak membuat Appa susah. Dan tentunya yang bisa menjaga keutuhan keluarga kita”

“Tentunya Appa juga ingin seperti itu, karena bagi Appa kalian adalah berlian indah milik Appa. Dan Appa tidak mau berlian Appa hancur hanya gara-gara kehadiaran orang yang salah.”

Aku sangat bahagia mendengar perkataan Appa. Maka, aku sudah tidak khawatir lagi, jadi aku bisa merestui Appa dan ikhlas kalau memang Appa mau menikah lagi. Beberapakali kami mencoba mengajukan beberapa calon istri yang baik untuk Appa, tapi Appa belum bisa menerimanya. Sampai akhirnya Appa berkenalan dengan seseorang janda guru mengaji di sebuah pesantren sekaligus anak pemilik pesantren tersebut. Kami berlima sudah sempat bertemu dengannya. Dan kesan pertama dari pertemuan itu adalah, hasilnya kami kurang begitu setuju kalau ia menjadi istri Appa. Dia benar-benar beda sama Mama, tidak begitu keibuan, dan tidak begitu lemah lembut. Apalagi kenyataannya sekarang sudah berlainan dengan perkataan Appa sebelumnya yang mencari calon istri yang tidak punya tanggungan. Sedangkan ibu itu masih punya dua anak yang jangka kebutuhannya masih panjang.

Aku kecewa akan hal itu. Kami berusaha untuk menyampaikan pendapat kami, tapi ternyata Appa hanya bisa menerimanya sesaat. Tak lama kemudian Appa mulai melupakan perkataannya dan perlahan, perhatian Appa terus tertuju pada Ibu itu. Sedangkan aku, aku hanya bisa terus bersabar dan mencoba untuk mengalah. Karena percuma aku bicara, Appa tidak akan bisa mendengar pendapatku yang masih sedikit pengalaman hidupnya. Lagian aku tidak punya banyak hak untuk terlalu menuntut dan menentang, karena benar kata Appa, yang akan menjalani kehidupannya kan Appa, bukan kami anak-anaknya. Terkadang aku memang benar-benar tidak kuat dengan keadaan ini. Semua keadaan ini semakin membuatku merasa hanya hidup sendiri di rumah. Aku hanya bisa menahan sedih di hati dan menangis di kamarku merindukan Mama.

Aku tak bisa banyak berbuat, yang bisa kulakukan hanya berdoa semoga Appa tidak salah memilih dan Appa akan selalu bahagia dalam hidupnya. Walaupun memang aku menginginkan seseorang yang benar-benar bisa menjadi ibu untukku juga. Karena jujur, akupun masih membutuhkan seorang ibu yang bisa membimbingku seperti Mama dulu, agar aku tak lagi hidup hanya dengan sebelah hati yang hampir merapuhkan aku…

***

Kamis, April 16, 2009

HATIKU

Karya : Ryan Rahadyan
Kelas : XI Bahasa


Lama sudah kau redupkan hatimu untukku
terbias indah sinarmu jauh dariku
dan akupun tahu itu semua bukan salahmu
salahkah hatiku yang mengharapkanmu

lama sudah kucoba semua tentangmu
walau sulit kucoba ingkari hatiku
ku tak pernah pantas tuk miliki hatimu

14-04-2009