Selasa, Mei 12, 2009

SENYUM DARI PERPISAHAN

NAMA : FITRIA VITAMAYA
KELAS : XI-BAHASA

Dalam hidup ini pasti akan ada yang namanya perpisahan. Dimana ada pertemuan pasti nantinya akan terjadi perpisahan. Perpisahan adalah hal yang memisahkan kita dengan suatu pertemuan dan perkenalan. Entah perpisahan yang bahagia ataupun menyedihkan. Perpisahan yang diwarnai dengan senyuman yang indah dan tulus atau perpisahan yang dihiasi oleh butiran-butiran air mata pilu. Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya. Perpisahan di dunia hanyalah dinding pemisah sementara yang selalu akan terjadi dalam hidup kita di dunia.Karena perpisahan pastilah ada hikmah dan makna yang terkandung di dalamnya.
Seperti yang aku alami, dulu. Aku brpisah dengan sahabat yang sejak kecil sudah akrab denganku. Aku mengenalnya waktu aku masuk SD dan setelah beberapa lamanya aku pun lamanya aku pun akrab dengannya. Bermain bersama, belajar bersama, kita selalu dekat. Aku berpisah dengannya karena aku harus pindah ke luar kota yaitu Bandung karena mengikuti orang tua. Jauh sekali dengan tempat tinggalku yang berada di wilayah Semarang. Orang tuaku berniat untuk pindah ke Bandung karena ada berbagai pertimbangan. Salah satunya yaitu menurut papaku agar kita bias merawat nenek yang tinggal di Bandung sana. Menurutku pandapat papa ada benarnya juga, selama ini keluargaku jarang sekali mengunjungi apalagi merawat nenek, karena jarak dari Semarang ke Bandung sangat jauh.
Tapi, setelah aku ingat bahwa aku harus berpisah dengan sahabatku rasanya aku tidak ingin mengikuti orang tuaku untuk pindah dan ingin tetap di sini bersama sahabatku. Aku merasa tidak bisa kehilangan sahabat kecilku. Aku juga sedih karena harus berpisah dengan semua teman-temanku yang sudah aku kenal sejak kelas 1 SD. Selain itu, aku pun sudah merasa betah tinggal di kota ini, lota yang sudah kutempati sejak aku masih kecil. Pokoknya banyak sekali hal yang membuat aku merasa berat meninggalkan kota ini untuk pindah.
Aku pun tak bisa berbuat banyak, aku hanya bisa pasrah menghadapi perpisahan ini. Aku hanya bisa mengikuti papa dan mamaku untuk pindah dari kota yang tercinta ini.Lagipula aku juga tidak bisa jauh dari keluargaku, jika aku tetap tinggal di sini. Karena keluarga tetaplah menjadi prioritas dalam hidup ini. Namun tetap saja, yang harus aku hadapi dalam waktu dekat ini adalah sebuah perpisahan yang mungkin menyedihkan.Yang hanya ada air mata mengalir tanpa ada senyuman menghiasi semua perpisahan ini.
***
Bel istirahat pun berbunyi. Semua teman keluar kelas untuk mengisi perut yang lapar dengan makanan. Kecuali aku, Gilang, dan Reni.
“Disa, kenapa sih kamu harus pindah. Jauh lagi pindahnya, ke Jawa Barat sana. Kamu udah nggak betah lagi ya tinggal di sini?” Tanya Reni sahabatku. Aku dekat sekali dengannya, walaupun kami berbeda agama tapi kami sangat akrab. Ia pandai sekali menyanyikan lagu-lagu daerah dengan suaranya yang merdu. Ia pun pernah mendapat juara dalam lomba menyanyi lagu daerah. Kami sering sekali pulang sekolah bersama, bermain bersama walaupun rumahku dengannya lumayan jauh.
“Aku bukannya udah nggak betah tinggal di sini. Tapi aku pindah karena orang tuaku yang pingin pindah ke Bandung. Justru aku masih betah kok tinggal di sini.”
“ Ya udah, kamu tinggal di sini aja sama kita, nginep di rumah aku. Biar kamu nggak jauh dari kita, nanti kalau kamu pindah aku sebangku sama siapa dong?!” Sambung Gilang, teman sebangkuku. Gilang juga sahabatku yang baik. Orangnya lucu dan tomboy tapi rambutnya panjang sepunggung. Jika aku diganggu oleh teman laki-laki yang nakal, pasti dia yang pertama membelaku dan memarahi teman nakal itu. Dia memang anak pemberani sehingga sedikit ditakuti oleh teman laki-laki. Ia pindahan dari Lampung sejak kelas 4, tapi waktu itu aku belum akrab dan tidak sebangku dengannya. Entah kenapa, sejak awal kelas 5 aku jadi dekat dan akhirnya duduk sebangku dengannya.
“Ya nggak bias dong, masa aku tinggal jauh dari keluargaku. Aku kan nggak bias jauh-jauh dari mama dan papaku. Aku bias nangis terus deh. Nanti kamu kan bisa sebangku sama Reni dulu, ya kan?!” Terangku menjelaskan.
“Jadi nanti kita jauh banget dong, nggak bias sama-sama lagi.” Ucap Reni dengan raut muka yang sedih.
“Iya, nanti kita nggak bisa main sama-sama lagi, belajar bareng kayak dulu lagi.” Ujar Gilang dengan wajah yang sendu.
Fuhh…aku jadi merasa sedih jika melihat muka Reni dan Gilang yang sedih itu. Aku juga sebenarnya sedih jika membicarakan perpisahan ini, rasanya ingin menangis saja. Tapi, di hadapan kedua sahabatku aku berusaha menyembunyikan kesedihanku agar suasana tidak terlalu sedih. Aku tidak mau sahabat-sahabatku sedih hanya karena kepindahanku. Beberapa menit lamanya semuanya terdiam, seperti sedang merenungi dan memikirkan solusi dari permasalahan ini. Termasuk aku. Aku memutar otakku untuk mencari solusi yang tepat agar perpisahan ini tidak menjadi perpisahan yang menyedihkan. Aku ingin perpisahan ini penuh dengan senyuman yang tulus bukan air mata yang menetes. Akhirnya setelah terdiam cukup lama, aku menemukan suatu solusi yang menurutku bagus. Solusi itu adalah…
“Hemmh…gini aja. Gimana kalau setelah aku pindah dan udah nyampe di Bandung. Kita surat-suratan aja, aku duluan deh yang nyuratin kalian. Sekalian ngasih alamat yang aku tinggali nanti. Tapi nanti kalian juga harus ngebales surat aku. Gimana ide aku?” Jelasku panjang lebar serta semangat 45 kepada mereka.
“Ide bagus. Duh, kamu kok pinter banget sih Dis!” Seru Gilang senang mendengar ideku.
“Iya ya, kenapa nggak kepikiran dari tadi sih. Kita surat-suratan aja, jadi kita tetep ngerasa deket walaupun kita jauh.” Ucap Reni sambil menunjukkan senyumannya yang mengembang.
“Jadi, kalian setuju nih ya sama ideku. Sekarang aku jadi nggak sedih lagi kalau pisah sama kalian, tadinya aku sedih banget karena merasa aku nggak bakalan sanggup pisah dari kalian. Tapi, setelah ada solusi ini kita nantinya nggak merasa jauh walaupun kita terpisah oleh jarak .” terangku.
“Hmmh, bener. Kita juga jadi ikhlas ngelepas kamu waktu kamu pindah ke Bandung nanti. Iya nggak?!” Gilang langsung melirik ke arah Reni guna membenarkan perkataannya.
“Yee, emang aku burung apa, pake dilepas segala. Dilepas buat pergi ke Bandung gituh!” seruku pada Gilang dengan nada bercanda.
“Emmmang…” teriak Gilang dan Reni kompak.
Dan kami pun tertawa bersama sambil melepaskan segala kesedihan dan kepenatan yang ada dalam hati. Lega rasanya melihat kedua sahabatku itu kembali menunjukkan senyumnya yang manis. Karena sebelumnya hanya wajah yang terlihat sedih dan bingung yang ditunjukkan oleh mereka. Satu rasa kesedihanku akan perpisahan saat ini hilanglah sudah, yang ada saat ini hanyalah kebahagiaan. Hanya ada senyum yang manis dan suara tertawa yang riang siang ini. Tapi entah, apakah kebahagiaan ini akan terus ada selama aku akan mengalami sebuah perpisahan. Hatiku sendiri pun tak bisa menjawabnya, dan pertanyaan itu masih terus menakuti diriku.
“Teng...teng…teng…teng…”. Bel tanda berakhirnya waktu istirahat pun berbunyi. Mengakhiri perbincangan yang berkesan antara 3 sahabat. Reni segera pindah ke bangkunya sendiri yang berada di sebelah bangkuku dan Gilang. Aku dan Gilang juga segera mengeluarkan buku pelajaran yang akan dipelajari siang ini.Walaupun kami tidak sempat ke kantin untuk mengisi perut yang kosong, tapi rasanya aku sama sekali tidak merasa lapar. Karena perbincangan dengan sahabatku tadi sudah cukup membuat aku merasa kenyang.
***
Hari ini, hari terakhir aku bersekolah. Karena besok aku akan meninggalkan semua kenangan di kota kecil yang tercinta ini. Besok aku akan pergi menuju ke kehidupan baru, dan pastinya kota yang baru. Segalanya baru, lingkungan baru, teman baru, tetangga baru, sekolah baru, dan rumah baru. Aku akan menjalani semua kehidupan baruku dengan semangat yang baru pula. Everything is new!
Sekolah hari ini kujalani dengan semangat karena ini hari terakhir aku bersekolah di sini. Sampai jam pelajaran terakhir semuanya berjalan lancer. Namun ketika bel pulang berbunyi, ketua kelas tiba-tiba menyodorkan sebuah kado berbentuk kotak kepadaku. Aku kaget bukan main karena ini bukanlah hari ulang tahunku, tapi kenapa Vendi, ketua kelasku memberikan kado kepadaku?
“Ini kado dari teman-teman sekelas. Kado tanda mata perpisahan, besok kan kamu pindah. Ini kenang-kenangan dari kita untuk kamu. Nih terima”.
“Ohh, terima kasih ya!” jawabku dengan nada ragu-ragu karena tak percaya akan semua ini. Setelah itu, beberapa teman menghampiriku dengan membawa kado masing-masing dan memberikannya kepadaku. Kedua sahabatku pun juga memberikan kado padaku.
“Makasih, makasih ya!” Berpuluh-puluh kali kata terima kasih aku ucapkan pada teman-teman yang memberikanku kenang-kenangan dengan memperlihatkan senyum yang ramah dan manis. Sebenarnya aku ingin menangis terharu tapi aku tahan karena aku tidak mau menangis di depan teman-teman.
Setelah itu, aku pun bersiap pulang dengan membawa kado kenang-kenangan. Banyak sekali kadonya. Jujur, aku kesulitan untuk membawa kado-kado ini apalagi jarak rumah dengan sekolahku lumayan jauh. Tapi aku berusaha untuk membawanya. Saat aku akan melangkah, teman-teman mendatangiku dan kemudian menolong membawakan kado.
“Dis, sini aku Bantu bawa kadonya. Kita mau nganterin sampe rumah sekalian perpisahan. Boleh kan?!”. Tanya Mariana, temanku.
“Boleh, boleh. Yuk!” Kami pun segera berjalan menuju rumahku sambil bercengkrama.
Sesampainya di rumah, aku pun masuk ke rumah untuk meletakkan barang-barangku. Teman-teman menungguiku di teras rumah. Mungkin mereka tidak enak untuk masuk ke dalam rumahku, karena memang isi rumahku sangat berantakan oleh barang-barang yang akan dibawa pindah. Kemudian mamaku menghampiriku dan bertanya.
“Teman-temanmu datang ya, ya udah diajak masuk aja. Nanti mamah bawain makanan sama minumannya.”
“Oh iya mah.” Ujarku sambil tersenyum gembira. Aku kira mamah tidak akan mengizinkan teman-teman masuk karena melihat kondisi rumah yang berantakan.
“Eh, mau masuk dulu nggak. Kalian capek kan jalan dari sekolah sampai rumahku. Kita makan sama minum dulu, yuk!” ajakku.
“Tapi nggak ganggu nih, Dis. Mama sama papamu pasti lagi beres-beres. Nanti kita bikin repot lagi.” Kata Tika temanku.
“Nggak apa-apa kok, lagian mama sama papa lagi istirahat sekarang. Bener deh, nggak bakalan ganggu dan ngerepotin. Tapi nggak apa-apa kan rumahku berantakan gini.” Bujukku meyakinkan.
“Nggak apa-apa. Namanya juga orang mau pindah.” Kata Gilang.
Akhirnya semua temanku mau juga untuk masuk ke dalam rumahku. Kami pun duduk lesehan beralaskan tikar di ruang tamu. Aku berjalan menuju dapur untuk membantu mama membuat minum dan membawakan makanan kecil. Sementara itu, teman-teman asyik mengobrol di ruang tamu sambil menungguku datang.
“Duh, udah nunggu lama ya. Ini, dimakan ya cemilannya sama minumannya. Maaf ya, rumahnya kayak kapal pecah.” Kata mama ramah sambil meletakkan beberapa gelas dan sepiring makanan ke lantai.
Setelah itu, aku pun ikut bergabung duduk dengan teman-temanku untuk bercengkrama dan menikmati cemilan. Beberapa makanan kecil memang belum disiapkan untuk dibawa, mungkin akan disiapkan besok pagi hari atau nanti malam. Tidak lama saat aku asyik ngobrol, mama dating dengan membawa sebuah kamera foto.
“Dis, nih kamera buat foto-foto sama temen kamu. Sekalian kan buat kenang-kenangan.” Kata mama padaku di hadapan teman-teman.
“Oh, tapi tolong fotoin ya mah!” pintaku pada mamah.
Aku pun mengajak teman-teman untuk berpose. Aku melihat raut muka teman-temanku yang begitu senang, aku juga. Karena ini untuk kenang-kenangan agar aku tidak lupa dengan wajah temanku setelah aku pindah nanti. Kami segera bergaya dengan gaya masing-masing, beberapa orang berdiri dan beberapa lagi duduk. Memasang senyum termanis dan bahagia agar wajahnya terlihat cantik di foto nanti.
“Satu, dua, tigaa!” Mama memberi aba-aba tanda akan difoto. Dan….klik! Cahaya keluar dari foto menyilaukan mataku. Senang rasanya berfoto ria dengan teman-teman, apalagi untuk kenang-kenangan perpisahan. Tidak cukup satu foto, kami pun berpose kembali untuk mengambil beberapa foto. Yang tadinya duduk sekarang berdiri, begitu juga sebaliknya. Pokoknya berbagai pose kami lakoni demi hasil foto yang bagus.
Setelah 1 jam, teman-teman pun berpamitan pulang karena hari memang sudah sangat sore, jam menunjukkan pukul 5 sore. Setelah berpamitan dengan mama dan papaku, teman-teman keluar dari ruang tamu menuju teras rumah. Kami pun mengucapkan salam perpisahan lagi di sana….
“Dis, selamat tinggal ya. Kamu baik-baik di sana, semoga kamu dapat temen yang banyak juga di sana.” Ujar Tika.
“Kamu juga jangan lupa kasih kabar ke kita ya. Kirim surat ke kita semua.” Kata Dewi.
“Iya, iya. Aku pasti nanti bakalan kasih kabar kok ke kalian, ke temen-temen sekelas. Nggak bakalan lupa deh.” Aku meyakinkan teman-teman.
“Oh ya, kan di sana pasti kamu diajarin bahasa sunda tuh, semoga kamu bias cepet bias belajar b.sunda ya. Habis itu, ajarin ke kita deh, misalnya lewat surat kamu tulis bahasa sunda gitu.”
“Oke deh, kalau aku udah bisa nanti aku ajarin kalian sampai bisa. Walauun hanya lewat surat.” Ucapku.
“Dan jangan pernah kamu lupain kita ya Dis kalau kamu udah tinggal di Bandung nanti. Temen-temen kamu, guru-guru di sekolah, semuanya yang ada di sini. Kita juga nggak bakalan lupain kamu kok.” Kata Reni.
“Iya, aku nggak lupa sama kalian. Nggak akan pernah, aku janji. Makasih ya sama semua kebaikan kalian ke aku. Aku seneng banget punya temen kayak kalian yang perhatian dan baik sama aku. Nggak mungkin aku lupa sama kalian semua.” Kataku haru. Dan satu persatu teman-temanku menjulurkan tangannya kepadaku untuk bersalaman sambil mengucapkan kata perpisahan. Aku hanya bias tersenyum melihat teman-temanku yang melangkah pergi jauh dari rumahku untuk pulang ke rumah masing-masing.
Betapa beruntungnya aku mendapat teman-teman yang baik seperti itu. Aku ingin terus bersama mereka, bermain, bercanda bersama mereka. Andai aku bisa terus bersama mereka, hidup bersama mereka.Andai papa dan mamaku tidak memutuskan untuk pindah rumah. Mungkin perpisahan ini tak kan pernah terjadi dalam hidupku. Tak akan pernah! Namun kemudian aku sadar akan segala kenyataan yang menghampiriku. Kenyataan bahwa perpisahan ini memang akan dan telah terjadi.
Aku sadar bahwa di dunia ini harus ada yang namanya perpisahan. Tidak mungkin jika di dunia ini sama sekali tidak perpisahan. Tidak ada gunanya aku beranda-andai seperti ini, membayangkan sesuatu hal yang tidak akan mungkin berubah dan terjadi. Yang harus aku pikirkan saat ini adalah kehidupanku selanjutnya, yang akan ku jalani nanti. Dimana aku harus berjuang meneruskan hidup dan tak terpengaruh oleh masa lalu termasuk perpisahan ini. Lagipula masih banyak solusi yang dapat aku lakukan untuk mengobati rasa kangen pada teman-temanku. Berkirim-kiriman surat, membayangkan kenangan indah yang terekam, juga foto-foto perpisahan tadi. Aku harus bangkit dari perpisahan ini, aku tak mau terbawa arus kesedihan mendalam yang semakin mendingin di hatiku. Aku harus semangat!
***
Malam terakhir di rumahku, aku menghabiskan waktu untuk membantu mama membereskan segala barang-barang yang masih ada di rumah. Aku dan mama membungkus gelas dan piring dengan koran, sementara papa mengangkat lemari pakaian dari kamarku ke ruang tengah agar lebih mudah dipindah besok. Sambil membungkus piring dan gelas, mataku menerawang melihat dinding tembok rumah, atap rumah, seluruh isi rumah aku pandangi. Agar aku tak lupa dengan rumah ini saat aku menempati rumah baruku di Bandung.
Dalam hati aku mengucapkan selamat tinggal pada rumahku ini. Rumah ini setelah bertahun-tahun sudah menjadi saksi bisu akan semua kejadian yang terjadi di sini. Dari aku bayi sampai aku besar rumah ini terlihat setia dan kokoh menemani perjalanan hidupku dan juga keluargaku. Aku tidak akan menangis lagi, aku tidak ingin meneteskan air mata lagi, mataku sudah terlalu sakit untuk mengeluarkan air mata sedih. Kalaupun aku menangis, air mata itu bukanlah dari perasaan sedih melainkan air mata haru. Terharu karena memikirkan semua yang ada di sini, orang-orang yang begitu perhatian padaku, lingkungan di sekitarku yang sudah menemani dalam setiap langkahku. Aku tidak akan begitu saja melupakan semua kenangan yang terlahir di sini. Karena aku merasa semua yang ada di sini adalah barang yang berharga dalam pikiranku, tak mungkin aku membuangnya begitu saja.
Aku akan meninggalkan semuanya di sini, kenangan yang tertanam di tanah ini. Aku berharap di suatu saat nanti aku bisa mencabutnya dengan hati yang gembira, yang telah tumbuh subur di tanah tercinta ini. Selamat datang perpisahan yang akan menjemputku ke kehidupan baru yang akan kulangkahi. Aku akan menyambutmu dengan hati yang tulus ikhlas dan dengan senyuman bahagia yang akan menyinari langkah selanjutnya. Selamat tinggal semuanya, selamat tinggal. Goodbye all my love…..!


*…the end…*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar Anda?