Minggu, Juni 21, 2009

iGoogle

iGoogle

Jumat, Juni 19, 2009

tugas sastra: novi rovika

ANGIN MUSPARA
Karya: Novi Rovika Kls XI-bhs

Riuh rendah angin muspara
Se-ia dengan realita
Bertarung dengan bisingnya kehidupan
Angina muspara …

Jangan sampai terbuai olehnya!
Sekalipun karena takdir
Dengan apa kau kan melawannya?
Dengan kesabaran.

Sabar. Seperti rumput gajah yang selalu sabar,
Menari-nari kemanapun angin membelai
Semua arah mata angin …
laiknya pola irama tarian

bukan tak ingin menjadi batu karang
hanya kadang, ciut nyali
tinggalkan saja keraguan dan ketidakpercayaan itu
pilih, jadi batu atau sampah

Cerpen

AKU NGERTI
Karya: Novi Rovika

Hidup adalah permasalahan, memang begitulah hidup. Itulah yang sedang menderaku. Sedih, bingung, bahkan tak tahu apa ini. Otakku dipenuhi pikiran-pikiran yang membuat hari ini serasa gak akan pernah hidup lagi.
Tak biasanya aku merasa ada yang beda saat aku hendak pulang ke rumah. Sesampainya di depan jalan yang menghubungkan sekolah dan rumahku, langkahku terasa lebih cepat. Entah apa yang membuatku ingin segera sampai di rumah.
“ srek..srek..srek..”
Suara itu terdengar dari kamar kak Ebie, kakakku. Aku heran melihat dia memasuk-masukan pakaian ke dalam ranselnya.
“ cepat ganti baju, semuanya ikut pergi mengantar ibu! ”
Ucap kakak sembari memandangku sendu. Aku heran sebenarnya ada apa dengan ibu, tapi rasa penasaranku…
“ memangnya sakit ibu parah lagi? Terus dibawa ke dokter mana? “
Tapi kakak tak menghiraukan pertanyaanku. Entahlah aku jadi makin penasaran.
Setelah kami siap, segera kakak meluncurkan motornya. Kami berbelok arah, aku tahu ke mana kami akan pergi.
Masih tersimpan dalam ingatanku, waktu aku kecil dulu kalau ibu punya uang pasti dia mengajakku ke tempat yang ku lewati barusan sengaja untuk membeli bakso kesukaanku. Hm.. sangat menyenangkan sekali jadi anak kecil, kalau saja aku bisa meminta aku akan meminta pada Allah agar aku jadi anak kecil terus. Tapi itu permintaan yang konyol. Tiba-tiba saja aku terdorong ke depan,
“ kakak ngerem gak bilang-bilang! ”
Sungut ku sambil membetulkan posisi duduk. tapi seperti tadi, kakak hanya meresponku acuh.
Tak terasa adzan maghrib berkumandang, kalau saja kakak tahu aku sedang berpuasa karena hutangku ramadhan kemarin kakak pasti mengajakku mampir sebentar di warung untuk sekedar membatalkan puasaku. Tapi nihil, biar saja aku tahan.
“ kita langsung ke rumah sakitnya saja ya! “
Ucap kakak dengan suara parau. Aku heran, memangnya kakak kapan nangisnya. Jadi tambah bingung, memangnya kenapa ibu harus di bawa ke rumah sakit segala.
Urusan perut emang gak bisa diajak kompromi, usahaku untuk menahan bunyi demo di dalam abdomenku membikin aku tak peduli dengan pertanyaanku tadi.
Akhirnya sampai juga. Aku perhatikan kakakku saat membuka helmnya, sekedar untuk memastikan apa matanya sembab setelah tadi aku mendengar suaranya yang parau. Ternyata tidak, hanya sedikit kusut mungkin karena pakai helm yang terlalu kekecilan.akh, aku ngaco.
Kami langsung menuju kamar yang disebutkan kakak, aku jadi gak sabar ingin segera ketemu ibu. Di sepanjang koridor jalan banyak keluarga pasien yang lalu lalang, ataupun hanya sekedar duduk-duduk. Aku pikir akan sepi, pasalnya ini kan sudah waktunya shalat maghrib.
Tak lama. Saat aku mendongkakkan kepalaku ke sebuah pintu ruangan yang nomornya tidak sempat ku lihat. Tubuhku serasa mau rubuh, seketika itu juga air mataku meleleh. Rasa takut itu mulai datang, tiba-tiba ada sedikit penyesalan. Dalam hati aku bergumam..
“ kenapa aku tadi tidak cepat pulang! “,
Air mataku terus meleleh. Hampir saja aku terjatuh tapi aku harus kuat, aku tidak boleh terlihat cengeng di depan kakakku apalagi di depan ibu. Sesosok wanita yang selalu mengomeliku karena susah makan dan mengingatkanku untuk tidak lupa shalat. Kini hanya terkulai lemah di atas kasur dengan selang infuse di pergelangan tangannya.
Kakak pergi ke luar untuk shalat sembarimembeli makanan. Aku shalat di kamar tempat ibu di rawat. Tak henti-hentinya aku menangis dalam do’aku,
“ aku tak ingin ibu begini, kenapa tidak aku saja ya Allah. Aku sanggup menggantikan posisi ibujika Kau menghendaki. Aku serasa tak berguna di saat seperti ini, yang aku bisa hanya cengeng. Kalaupun Engaku menghendakinya untuk bersama-Mu sekarang, aku belum siap. Aku tak akan kuat menerimanya, aku belum siap berstatus yatim. Aku tak mau itu terjadi “.
“ Apa aku anak yang selalu ibu banggakan itu, yang tak bisa berbuat apa-apa disaat ia lemah melawan penyakit yang selama ini dideritanya. Ya.. Allah, sembuhkanlah ibu. Agar aku bias mendengar omelannya lagi, agar aku bisa melihat senyumnya lagi. Amin ya… rabbal ‘alamin…”.
Ya ampun! Ternyata dari tadi kakak melihatku, aku benar-benar kaget. Biarlah, ini kan wajar. Tapi tetap saja aku malu. Ia menyodorkan bungkusan nasi yang di belinya barusan, sembari aku makan kakak menasehatiku.
“ kakak juga tidak tahu kenapa ibu bisa drop lagi, padahal kemarin ibu terlihat seperti ada kemajuan. Kakak kira sudah mendingan. Eh… ternyata malah jadi begini. Makanya mulai sekarang kamu harus terus jagai ibu “.
“ Ibu tuh tadi sebelum dibawa ke sini bukannya mikirin penyakitnya tapi dia malah nanyain kamu. Ibu bilang kalau kamu pulang suruh jangan lupa shalat terus kalau sudah adzan maghrib langsung makan …”.
Aku nangis sesenggukan, tumpah lagi air mataku. Entah, ibu mana yang bisa menggantikan posisinya jika memang sekarang saatnya. Tidakada!. Aku hanya ingin ibu, satu ibu yang kini tengah terkulai lemah.
“ ayah dan kakak-kakak yang lain sudah pulang duluan tadi, assyah bilang kamu dulu yang jaga ibu duluan besok ayah menggantikan “.
“ …..kamu ngerti kan, betapa sayangnya ibu sama kita semua. Sama kamu. Betapa ia membutuhkan kamu disaat seperti ini. Kamu harus jagain ibu, berdo’a terus buat ibu. Ibu pasti sembuh “.
“ aku ngerti! “.

tugas sastra : fitria krisna

PUISI Sepi

Seribu cahaya berkesiur

Di sepanjang musim gugur

Merentangkan sunyi antara

Patung-patung dan air mancur

Ketika kuteriakkan sepi sahut

Sang burung pun seakan mengisak perih

Ketika ku rasa kelam siang ku pun terasa tenggelam

Bersama angin yang membelai raga

Tetes demi tetes air hujan yang berjatuhan

Seakan menjadi musik pengiring dalam kelamku

Hari ini aku berdiri gontai tak bertenaga

Harapku dalam hati semoga ada yang sudi

Memapahku berdiri tegak


TINJAUAN BUKU

Judul buku : Mengatur rencana

Pengarang : Enid Blyton diterjemahkan oleh Agus Setiaaji

Penerbit : PT. Gramedia, Jakarta

Tahun terbit : 1981

Tebal buku : 37 halaman

SINOPSIS

Pesta Malam Api adalah sebuah pesta yang diadakan oleh orang-orang Inggris untuk mengenang komplotan pengebom Guy Fawkes atau yang terkenal dengan Guy Fawkes’s Gunpowder plot. Komplotan ini adalah pelaku pemboman gedung parlemen Inggris (Houses of Perliament) pada tanggal 5 November 1605. Setiap tanggal 5 November warga Inggris mengadakan pesta malam api untuk memperingati tragedy tersebut. Pada pesta itu mereka membuat boneka laki-laki berukuran besar, didandani dengan pakaian tua menyerupai tokoh Guy Fawkes. Boneka itu didudukan di atas kursi kemudian di bakar secara beramai-ramai dalam api unggun dengan iringan letusan mercon dan kembang api. Pesta pembakaran biasanya diadakan di sebuah lapangan, di atas bukit, atau di tanah perkemahan.

Bottom of Form

CERPEN

Rapor

Diam-diam aku memerhatikannya sedari tadi. Dari tempatku duduk sebagai notulen, gerak-geriknya terbaca jelas. Sangat jelas. Bahkan orang bodoh pun tahu, dia sangat gelisah. Dia baru tiba saat pembawa acara baru saja selesai membacakan agenda pertemuan hari ini. Rambut panjangnya yang tergerai berayun-ayun mengikuti langkahnya yang tergesa. Sesaat dia berhenti di ambang aula. Matanya berkeliling mencari-cari tempat duduk yang kosong. Hanya kursi di barisan depan yang masih tersisa. Dengan enggan, tapi berusaha tetap terlihat elegan, dia pun mengambil tempat duduk di kursi pojok barisan depan. Jauh dari orang tua murid yang lain.

Sedari tadi dia tidak tenang. Seperti ada bara di bawah pantatnya yang menggunung itu. Pantat yang terlalu kencang untuk perempuan yang sudah tiga kali melahirkan. Memang sering kali kulihat mobilnya terparkir di depan fitness center di samping sekolah. Tapi aku curiga, pantat itu bukan hanya didapatnya melulu melalui latihan-latihan di fitness center itu. Entah apa yang sudah dijejalkannya di dalam sana, sehingga si pantat bisa berbentuk sedemikian rupa. Digeser-gesernya duduknya. Kadang ke kanan, kadang ke kiri, ke depan, ke belakang. Aku sempat khawatir kalau-kalau celananya yang berbahan halus dan mahal itu akan sobek karena bergesekan dengan kursi yang didudukinya. Bolak-balik diangkatnya tangannya untuk menengok jam berlapis emas putih di pergelangan tangannya itu. Padahal sudah ada jam tergantung di dinding aula. Seakan dia ingin memastikan kalau jarum jam dinding itu sudah berputar sebagaimana seharusnya.

Sesekali dihelanya nafasnya. Beban ribuan ton rupanya menimpa dadanya yang penuh (terlalu penuh juga untuk ukuran perempuan yang sudah tiga kali melahirkan?). Sebentar kaki kanannya disilangkan ke kaki kirinya. Sebentar kemudian diturunkannya. Ganti kaki kirinya yang disilangkan ke kaki kanannya. Begitu seterusnya. Kini kedua kaki langsingnya sedang mengetuk-ngetuk lantai tanpa irama. Untung saja bunyi ketukan sandalnya tertelan gemuruh suara orang-orang berbisik di aula ini. Sementara itu kepalanya terus berkeliling. Kalau tidak menunduk berlagak mencari-cari sesuatu dari dalam tas kulit merk luar negerinya. Sekilas dapat kulihat setitik keringat meluncur di dahinya yang putih mulus. Tentu saja keringat itu tak akan melunturkan riasannya. Maklum harga seperangkat make up yang dikenakannya setara dengan sebulan gajiku sebagai guru di sini.

Aku terpaksa mengangguk (sok) ramah padanya ketika tatapan kami bertemu. Sekedar untuk menyembunyikan seringai yang terlanjur muncul di ujung bibirku. Dia membalasku dengan anggukan dan senyuman teramat tipis sembari dengan angkuh mengangkat dagunya. Kini benar-benar kunampakkan seringaianku, tanpa usaha untuk menutupinya lagi. Sesaat kemudian aku berpaling, kembali berlagak serius mendengarkan paparan kepala sekolah mengenai pencapaian-pencapaian sekolah kami di tahun ajaran ini. Paparan yang terlalu panjang dan terlalu lebar. Membosankan. Kenapa tidak langsung ke menu utama saja, pengambilan rapor. Aku sudah tak sabar.

****

Tinggal kami bertiga di ruang kelas ini. Aku yang sedang melayani Bu Mira, dan dia yang duduk dengan gelisah di deretan kursi tunggu yang kosong. Perilaku gelisahnya sama persis dengan sewaktu dia ada di aula tadi: pantat digeser-geserkannya, kaki ditopangkan bergantian kalau tidak diketuk-ketukan di lantai, pandangan berkeliling atau menunduk berlagak mencari-cari sesuatu dalam tas, maupun jam tangan yang berkali-kali ditengoknya. Dagunya mendongak setiap kali mata kami bersitatap. Dasar angkuh! Aku tahu dia sedang memakiku habis-habisan dalam hatinya. Biar saja, memang kusengaja. Setelah pertemuan di aula selesai, para orang tua dipersilakan masuk ke ruang kelas anak mereka masing-masing untuk menerima pembagian rapor. Dan kira-kira sejak dua jam yang lalu dia sudah duduk di sini menunggu giliran kupanggil menghadapku untuk mendapatkan rapor anaknya.

Dari lima belas muridku, anaknya memang nomor absen terakhir. Jadi bukan salahku jika sampai saat ini dia belum juga kupanggil. Aku baru sampai nomor absent empat belas. Rachel, anak Bu Mira. Hanya saja, aku memang sengaja berlama-lama berbincang dengan setiap orang tua murid. Kujelaskan sampai sedetail-detailnya perkembangan anak mereka selama satu tahun ajaran ini. Hal yang tidak perlu kulakukan sebenarnya. Perkembangan setiap anak didik sudah tercantum dalam rapor khusus kami yang berupa laporan narasi deskriptif. Belum lagi jika kebetulan sang orang tua murid memang suka ngobrol, pembicaraan bisa melebar sampai ke mana-mana. Seperti yang sedang kulakukan dengan Bu Mira ini.

“Ibu ini bisa aja!” Bu Mira tertawa panjang. Muka putihnya bersemu merah. Bu Mira bercerita kalau Rachel baru saja menjadi juara satu lomba wajah fotogenik. Aku bilang pantas saja, karena dia mewarisi kecantikan ibunya. Gombal sekali memang, tapi yang seperti ini orang tua murid suka. Dimasukkannya rapor, laporan perkembangan, dan beberapa lembar pengumuman ke dalam tas, lalu dikeluarkannya sebuah bungkusan dari dalam tasnya.

“Rachel sendiri yang memilih, Bu. Semoga suka!” Tangannya mengangsurkan sebuah kotak kecil yang terbungkus kertas kado bergambar kartun Naruto. “Aduh, malah merepotkan!” kataku berbasa-basi, “terima kasih banyak lho, Bu!”

“Ah, biasa aja! Terima kasih banyak Bu, sudah membimbing Rachel. Maaf, sudah banyak merepotkan!”

“Tidak apa-apa, Bu, sudah menjadi tugas saya!” Jawaban ini sudah secara mekanis keluar dari mulutku setiap semesternya.

“Mari Bu, saya permisi!” Bu Mira beranjak keluar ruang kelas.

“Terima kasih, Bu. Salam buat Rachel!”

Kutumpukkan bingkisan dari Bu Mira di atas bingkisan-bingkisan orang tua murid sebelumnya. Selain bingkisan-bingkisan itu ada beberapa amplop di dalam laci mejaku. Hatiku bertanya-tanya, apa gerangan yang dibawa oleh perempuan yang kini sedang melangkah menghampiriku ini. Setelah parcel segede gunungnya yang kukembalikan seminggu yang lalu! Hari gini menyogok guru agar mau mengatrol nilai! Rupanya dia sudah merasa rapor anaknya bakalan jelek. Ardian, anaknya, memang berkebutuhan khusus. Gangguan konsentrasinya membuatnya sulit mengikuti pelajaran. Nilai-nilainya selalu di bawah teman-temannya. Tidak hanya itu, agaknya dia juga mulai sadar kalau kelakuannya padaku selama ini bisa saja membuatku mengurangi nilai-nilai anaknya.

Sebenarnya kesempatan ini sudah kutunggu-tunggu. Pembalasan dendamku untuk perempuan berpantat terlalu kencang dan berdada terlalu penuh yang angkuh ini. Di sinilah ajang pembuktianku bahwa aku bukan orang sembarangan. Bahwa aku punya kekuasaan. Kalau sebenarnya dia tidak bisa macam-macam denganku. Sebagian masa depan anaknya aku yang menentukan. “Mari, Bu, silakan duduk!” Tanpa sepatah kata dia hanya tersenyum tipis, duduk di hadapanku. Senyum bernada segan. Bukan senyum sinis seperti yang beberapa kali dilemparkannya padaku, saat dia mencercaku. Untuk penilaian-penilaiannya padaku: guru konvensional, guru pilih kasih, guru yang kurang perhatian, dan lain-lain.

Aku berlagak sibuk menyiapkan rapor, laporan perkembangan, dan beberapa lembar pengumuman yang akan kuberikan kepadanya. Sedangkan sudut mataku mencuri-curi pandang wajah cemasnya. Wajahnya yang pucat. Seperti aku ini hantu baginya. Dalam hatiku tertawa. Mati kau, kutukku. Kutumpukkan berkas-berkas yang akan kuberikan padanya di sudut meja. “Selamat pagi, Bu!” Kataku sambil menjabat tangannya yang dingin. Tangan yang pernah melemparkan kertas ulangan anaknya ke mukaku, sembari berkata kalau percuma saja bayar mahal-mahal kalau lagi-lagi dapat nilai lima puluh. Tanganku menjadi ikut basah oleh keringat di telapak tangannya. “Pagi …, pagi Bu,” jawabnya tanpa bisa mengatasi kegugupannya.

Lagi-lagi dalam hatiku tertawa. Teringat aku bagaimana dia meneleponku malam-malam, tanpa ucapan selamat malam, hanya untuk menanyakan keberadaan pensil atau penghapus anaknya yang hilang. Setengah mati aku berusaha menyembunyikan tawaku. “O ya, Bu. Mohon maaf sebelumnya. Kemarin terpaksa saya mengembalikan bingkisan Ibu. Bukannya apa-apa, Bu. Peraturan sekolah melarang guru menerima bingkisan dari orang tua murid sebelum rapor dibagikan. Saya tidak berani melanggarnya, Bu. Semoga Ibu maklum.” Padahal mana ada sekolah mengatur perihal itu. Macam pejabat saja, dilarang menerima gratifikasi. “Tidak apa-apa, Bu. Saya yang minta maaf. Saya tidak tahu ada peraturan seperti itu di sini. Di sekolah Ardian yang dulu diperbolehkan. Saya hanya bermaksud mengucapkan terima kasih saja.” Dia menelan ludah sebentar. “O ya, bagaimana Ardian, Bu Lily?” Wajahnya terlihat sangat memelas. Layaknya pengemis yang sudah tiga hari tidak makan memohon sedekah saja. Ke mana gerangan dongakan dagunya yang angkuh itu? Ho ho, betapa aku rindu!

Kuambil tumpukan berkas di sudut meja. Sengaja tidak segera kuserahkan kepadanya. “Mohon maaf, Bu. Sejak kepindahan Ardi awal semester dua ini, saya sudah berusaha sebaik mungkin membimbing Ardi ….” Kalimatku menggantung. Berkas-berkasnya masih di tanganku. Wajahnya seperti orang yang sudah mati saja. Seperti tidak ada lagi darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya gemetar. “Ja … jadi … bagaimana, Bu? Bisa tidak naik ke kelas tiga?” Pertanyaannya lebih terdengar sebagai ratapan.

Tapi aku tidak juga jatuh iba. Seperti ketika dia memohonku untuk melupakan apa yang pernah dilakukannya padaku. Mengiba-iba meminta maaf. Semata-mata karena dia takut sakit hatiku akan mempengaruhi nilai rapor anaknya. Ataupun ketika seminggu yang lalu dia memohonku “kebijaksanaanku” untuk menaikkan anaknya. Dia tidak tahu di mana dia akan menaruh mukanya jika anaknya lagi-lagi tidak naik kelas. Berkas-berkasnya masih kutahan. Biar kunikmati dulu penderitaannya ini. Nikmat, sungguh nikmat! “Seperti yang Ibu ketahui sebelumnya, sekolah kita memang berbeda dengan sekolah yang lain, Bu. Berbeda dari sekolah Ardi sebelumnya. Dari segi metode maupun substansi pembelajarannya. Tapi tetap saja kita mengacu pada peraturan dinas pendidikan, karena kita pakai kurikulum nasional, Bu. Mungkin Ibu juga sudah tahu. Sebagai syarat kenaikan kelas, rata-rata nilai rapor siswa semester satu dan dua tidak boleh lebih dari,” sengaja kuberi penekanan, “empat mata pelajaran yang di bawah KKM…” Akhir kalimatku kembali menggantung.

Manusia di hadapanku ini semakin terlihat mengenaskan. Butir-butir keringat meluncur di dahinya. Sebagian sudah sampai di pipinya. Ada kemungkinan dia sudah akan pingsan dulu sebelum aku menyelesaikan penjelasanku ini. Bahagianya, siang ini aku merasa menjadi Tuhan. Kubuka rapor Ardi. Kuhadapkan ke arahnya. “Semester ini Bu, nilai Ardi kurang memuaskan. Seperti yang Ibu lihat di sini.” Kutunjuk dengan jariku. “Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ada di bawah KKM. Jadi ada lima mata pelajaran yang ada di bawah KKM ….” Tangannya sampai gemetar menerima buku rapor ini. “Tidak naik, Bu? Benar-benar tidak bisa ditolong?” Kalau teringat bagaimana dia mengangkat dagunya, ekspresinya kali ini tampak begitu menggelikan.

Kubuka halaman sebelumnya, rapor semester satu. “Semester satu juga ada lima mata pelajaran yang di bawah KKM. PKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ….” Sengaja aku berhenti untuk memandang wajahnya. Aih, aih. Seperti habis kecopetan uang semilyar! Dia membolak-balik halaman rapor anaknya. “Lima mata pelajaran, ya?” Suaranya tersendat di kerongkongan. Aku tersenyum. Lebar. Kini tidak kututup-tutupi. “Lima, Bu ….” Matanya nanar menatap angka-angka itu. Senyumku semakin lebar. “Ibu, tapi setelah dirata-rata, ternyata hanya empat mata pelajaran saja yang di bawah KKM. Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ….” Dia melongo, tak menyangka. “Ja … jadi … Bu?” Kini aku ingin tertawa. “Masih naik, Bu. Walau mepet ….”

Seketika wajahnya menjadi bercahaya. Berbinar-binar, seperti seribu kunang-kunang beterbangan mengitarinya. “Syukurlah!” Dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Syukurlah!” Dia mendekap rapor anaknya dalam dadanya yang terlalu penuh itu. “Syukurlah!” Aku manusia biasa, aku menyimpan dendam. Aku pun pantas membencinya, karena aku punya harga diri. Tapi aku juga masih punya nurani. Tidak mungkin aku mengubah angka-angka itu. Walaupun hal itu sebenarnya sangat mudah bagiku. Tidak akan ada seorang pun yang bertanya mengapa anak itu tinggal kelas. Dunia akan memakluminya. Sudahlah. Aku sudah sangat puas melihat perempuan berpantat dan berdada terlalu bulat yang angkuh itu hampir mati ketakutan. Itu saja cukup. Dendamku sudah terbalaskan.

RESENSI NOVEL

Judul : AYAT AYAT CINTA

Penulis : Habiburrahman El Shirazy

Penerbit : Republika

Hal : ix + 418

Nama : Fitria Krisna H.

Kelas : XI-Bahasa

SINOPSIS

Penasaran sekali dengan novel ini. Apa sih isinya? Dan seperti apa? Sampai heboh dimana-mana.

Awal baca, aku sedikit menyalahkan beberapa orang yang meresensi. Masa seperti ini novel sih? Kupikir malah terlalu banyak teori. Belum lagi istilah-istilah asing yang sangat banyak. Semakin membaca, istilah asingnya semakin banyak, ada Arab, Jerman dan Inggris hi..(kalau Inggris sih, dasar sayanya yang emang minimal banget). Jadi kepikir kalau aku nulis istilah nihonggonya kebanyakan, emang bener, bakalan banyak diprotes orang.

Tapi bukan berarti tidak menarik. Kurasakan perasaan yang sulit diungkapkan, membaca di zaman seperti ini, ada orang yang haus ilmu. Mengaji pada seorang ustadz. Dengan jarak puluhan kilometer, ditempuh dalam waktu tidak sebentar. Sungguh, itu sebuah kabar yang jarang sekali kudengar. Biasanya adalah menceriterakan kisah salafushsholih saat menuntut ilmu. Tapi ini dijaman sekarang? Apalagi itu dilakukan dalam keadaan terik matahari musim panas di Mesir yang mencapai 40 derajat lebih. Subhanalloh. Eh, aku justeru nangisnya di sini. Di belakang-belakang saat adegan-adegan ‘novel’ kok malah ga keluar air matanya ya? Menurutku sih kisah percintaannya biasa-biasa saja.

Ada juga saat menceriterakan mimpi Fahri saat bertemu dengan Ibnu Mas’ud. Membuat perasaan saya ikut mengharu-biru.Tidak salah memang kalau novel ini disebut novel penggugah jiwa. Ada memang beberapa yang kulompat membacanya. Gimana ya, terlalu ilmiah yang menuntut untuk berpikir. Tidak beda dengan membaca buku fiksi, dan yang pasti karena nggak sabar dengan cerita yang dibilang orang-orang seru. Mana sih adegan empat orang wanita yang mencintai Fahri ini?

Di pertengahan lebih buku itu, aku baru merasa membaca novel. Adegan demi adegan mengalir bagus. Kisah Fahri yang ingin menikah, kemudian ada perang batin di saat-saat memutuskan untuk menikah, karena ada wanita lain.

Ada adegan-adegan sepasang pengantin baru disini. Kata pengantarnya, jadi benar-benar seperti novel asmara (ah, apakah novel asmara harus seperti itu??) Saya membayangkan bila belum nikah, baca itu rasanya mungkin risih juga...

Selanjutnya ada adegan dalam penjara Mesir saat Fahri dipenjara. Itu juga mengingatkan saat-saat para ulama dipenjara. Tak jauh dari masalah keluarga dan wanita. Poligami. Dengan siapa?? Baca aja sendiri he..Happy/sad ending yah novel ini? Akhir cerita memang syahdu, tapi rasanya bukan sad ending. Karena setelah itu rasanya Fahri bahagia bersama isterinya. Akhirnya, buku ini (bukan novel he..) bisa dibaca oleh semua orang. Bagi yang masih kurang menyukai novel, buku ini tidak melulu adegan-adegan kehidupan seperti novel-novel pada umumnya. Banyak sekali ilmu di dalamnya. Dalam dunia penulisan, seringkali dibilang kalau bisa jangan terlalu “ini ibu Budi” sekali dalam menuliskan hikmah. Namun dalam buku ini tidak hanya “ini ibu Budi..” bahkan banyak dalil-dalil didalamnya Mulai dari masalah pandangan wanita dalam Islam, pergaulan dengan non muslim dan banyak lagi. Namun saya merasakan tidak digurui. Mungkin karena dalam konteks ini malah justeru kelihatan ilmiah.

Dan bagi yang masih malas membaca buku-buku yang ilmiah, buku ini juga cocok karena dipadukan dengan kisah yang sangat menawan.

Hemmm...intinya sih, saya puas baca buku ini. Bagus.

tugas sastra yang MARYA


TRAGEDI AJAIB

Namaku Marya, aku sekolah di SMAN 2 Tarogong kelas XI dan merupakan siswi SMU. Tiga tahun yang lalu aku mengalami tragedi yang tak mungkin dapat aku lupakan. Tragedi atau bisa juga disebut pengalaman yang menakutkan.

Suatu pagi aku pergi ke sekolah, namun pagi ini ada yang berubah dari ibuku. Apakah yang berubah? Ibuku memotong uang jajanku. Jelas aku kecewa dan aku marah pada ibuku karena siapapun pasti tidak suka apabila uang jajannya dipotong. Tapi aku tetap pergi ke sekolah dengan hati kesal dan tak rela dan aku harus tetap menjalani hariku. Setelah lama menunggu beberapa jam yang seperti satu bulan akhirnya bel pulang pun berbunyi. “Kring… kring…!!!”. Yes!!! Kata itu yang terucap dari mulutku yang membuat semua mahluk yang ada di dalam kelas terkejut dan memalingkan mata mereka kearahku. Tanpa kupedulikan mereka aku melesat pergi dari kelas dan keluar dari halaman sekolah.

Sesampainya di rumah, baru selangkah kakiku berjalan telah kutemui sosok ibuku sedang memasak. Tak ku sapa karena aku masih merasa kesal pada ibuku. Sampai saat ibu menyuruhku untuk makan siang pun aku tak mau karena merasa gengsi walaupun cacing-cacing di dalam perutku sedang konser besar-besaran. Tak lama ku diam di kamar kudengar ibuku hendak pergi ke rumah temannya. “Aha…!!! Ini kesempatan untuk mengobati cacing-cacing dalam perutku ini” (pikirku dalam hati) karena ibuku tak ada di rumah aku pakai kesempatan ini untuk menyantap masakan ibuku yang tak ada tandinganya.

Setelah perutku kenyang aku melihat jam sudah menunjuk pukul 2 siang, satu jam lagi aku ada jadwal les B.inggris di rumah guruku. Aku pun bergegas ke kamar mandi , selesai mandi aku beranjak pergi ke tempat les dengan memakai angkutan umum karena aku sudah hamper terlambat. Aku berjalan menyusuri perjalanan dan sesampainya di tempat les aku terkejut karena tak seorang pun yang kutemui di sana, akhirnya aku putuskan untuk menunggu temanku sampai mereka datang. Tak lama kemudian akhirnya teman-temanku yang aku tunggu bermunculan satu persatu. Dengan enjoy aku mengikuti les, saking enjoynya tak kusadari jam sudah menunjukkan pukul 17.30, karena waktu les habis aku segera pulang.

Namun sebelum aku pulang aku mengantar temanku ke Masjid Agung untuk melaksanakan sholat terlebih dahulu, karena tak ada teman pulang aku putuskan untuk menunggu temanku tapi aku hanya menunggu di luar Masjid. Karena cukup lama aku menunggu, aku kebelet pipis dank arena aku tak tahan aku putuskan untuk pipis di WC Masjid Agung. Setelah selesai saat aku hendak keluar dari WC, tiba-tiba aku terpeleset dan jempol kakiku berdarah karena terkena keramik yang pecah. Sesaat aku mengalami kejadian itu aku tidak merasakan apapun, namun beberapa saat kemudian aku merasakan perih yang tak tertahan karena kakuku mengeluarkan banyak darah. Saat aku keluar dari WC ternyata temanku telah selesai melaksanakan sholat karena mereka terkejut melihat kakiku yang penuh dengan darah mereka panic dan membeli Tissue untuk membalut lukaku walaupun tidak mampu menahan darah dan darah terus saja mengalir.

Aku pulang dengan menggunakan angkutan umum lagi, dengan tetatih-tatih aku berjalan dan setelah sampai di rumah yang pertama kali aku temui adalah saudara perempuanku yang kebetulan sedang berkunjung ke rumahku. Dia menyuruhku mencuci lukaku agar tidak infeksi. Tak berapa lama lukaku berubah menjadi warna hitam dan ternyata darah dalam kakiku membeku dan apabila tidak di keluarkan ada kemungkinan akan infeksi. Karena aku takut aku menolak untuk mengeluarkan darah itu. Karena aku menolak solusinya ibuku membalut kakiku yang luka. Aku melihat ibuku begitu mengasihiku dan mengobatiku dengan sabar dan penuh kasih sayang, aku serasa ingin menangis melihat beliau saat itu. Padahal aku sudah melakukan hal yang sangat bodoh marah kepada ibuku. Sejenak dalam hatiku aku berkata “mungkin ini merupakan ganjaran bagiku yang telah berbuat salah kepada ibuku”. Secara spontan aku langsung meminta maaf dan memeluk ibuku. Beliau menasehatiku agar tidak mengulangi perbuatanku yang seperti anak kecil itu. Dari pengalaman ini aku belajar untuk bisa lebih hormat kepada orang tuaku. Karena bagaimanapun kasih orang tua kita tidak akan pernah putus sampai kapanpun. Hanya doa orang tua lah yang bisa membuat kita maju dan berhasil.

PUISI

Mungkin Suatu Hari

Engkau tak pernah mengerti

Setumpuk rasa yang ku bawa

Untukmu duhai pangeranku

Setiap gerak-gerik yang terlihat

Tuk mencari jawaban cinta

Yang akan menjadikan

Sebuah kisah “Abadi untuk selamanya”

Tak mungkin ku berpaling

Takkan mungkin pula

Rasa ini akan musnah

Ditelan keindahan duniawi

Mungkin waktu kan mempersatukan kita

Karena itu ……

“Yakinlah akan suatu hari nanti”

Nama : Marya Tripena P.S.

Kelas : XI-Bahasa


Kamis, Juni 18, 2009

Tugas Cerpen, Rosni Mentari, XI Bahasa

Kisah Cinta SMU


Hari itu adalah hari yang sungguh panas menyengat kulit. Jalanan yang penuh debu mengganggu pernafasan. Siang itu aku pulang dari sekolahnya lebih cepat dari biasanya. Memang saat itu sedang diadakan rapat akhir semester yang dilaksanakan setiap bulan pergantian semester yaitu pada bulan Juli atau Desember.

Setiba dirumahnya, aku masih terpikirkan kejadian yang menimpa Harry yang terkenal dengan jahilnya kepada semua anak-anak di sekolahnya. Menurut kabar angin, hari ini Harry dirawat di rumah sakit karena kecelakaan motor, hasil dari kebut-kebutan tadi malam bersama sekelompok anak muda berandalan. Memang sebelum kejadian itu aku pernah menasihatinya agar tidak mengikuti balap motor tersebut. Apalagi kalau tidak punya sim atau semacamnya. Tapi Harry memang keras kepala. Ia malah menghiraukan ucapanku. Jelas-jelas aku tersinggung, Apalagi Hary malah menjulukiku, dengan sebutan Mak Erot. Sudah sukur aku masih mau menaruh perhatian padanya. Tapi karena Harry sudah mengecewakan untuk kesekian kalinya, aku jadi berpikir kalau Harry seharusnya memang mati.

Sungguh orang yang tak beruntung punya anak seperti Harry. Aku juga punya julukan buat dia Sapi Gila. Apa lagi kalau di kelas ada guru, aktingnya sebagai banci sudah tradisi. Jahil-jahil juga, Harry orangnya punya semangat juang yang tinggi loh.

Esoknya, aku masuk sekolah seperti biasanya. Setelah tiga hari Harry dirawat di rumah sakit, Dilla mencoba membujuk aku untuk menjenguknya.

“Ri, ayolah dia juga temen kita. Jadi, kita juga wajib mengetahui keadaan dia apalagi dia sekelas dengan kita!”

Aku memang gak menghiraukan Dila. “Ri! Jangan pura-pura gak denger! Jawab donk!”

“Males!” Rasanya aku mau marah, akhirnya aku memutuskan untuk pergi begitu saja dari hadapan Dilla. Memang aku masih sangat membenci Harry.

Lalu tak lama kemudian, aku mulai merenung, aku duduk dihalaman sekolah sambil melamun dan aku masihmemendam rasa marah. Aku lagi gak mau didekati oleh siapapun malah aku juga gak mau didekati oleh mamih.

Tetapi satu persatu, masalah muncul mulai dari Harry sakit dan Dilla juga menjadi kurang akrab denganku.

Hari ini dan minggu ini, adalah hari yang buruk untukku. Aku masih bingung apa sahabatku, Dila, marah padaku dan tidak mau terlalu akrab denganku. Sulit rasanya bagiku untuk memperbaiki semuanya.

Satu minggu berlalu, Harry mulai masuk sekolah kembali, dan ia juga sudah pulih dari sakitnya. Hanya saja tangannya masih harus diperban karena mengalami retak tulang. Setelah Harry masuk, semua yang ada disekolah merasa akan ada si pengganggu lagi bagi mereka. Tetapi, ternyata tidak, Harry terlihat murung di kelasnya. Setelah tiga jam pelajaran selesai, bel istirahat pun berbunyi “kriiiiing...kriiiiiiing”. suara bel itu keras menusuk kuping.

Lalu Dilla membereskan mejanya, “Ri, kamu mau ikut ke kantin gak? Atau mau nitip apa?”

“ Gak usah! Aku mau disini aja!”

Semua siswa meninggalkan kelas dan mereka semua pergi beristirahat. Tetapi, hanya dua orang saja yang tidak pergi meninggalkan kelas. Hanya aku dan Harry. Harry yang baru saja masuk sekolah terlihat sedang melamun di bangkunya, sementara itu, aku yang baru saja memperbaiki hubunganku dengan Dilla, sedang membaca komik shinchan. Saat Harry melirikkan matanya pada ku, dia yang tadinya melihat ku dengan mata berkaca-kaca, ingin tertawa saat melihat ku membaca komik anak-anak.

Lalu aku sempat membalas tatapannya, aku terlihat sangat linglung, dan gak segan-segan aku mulai mengeluarkan wajah harimau ku karena melihat Harry sedang tertawa terbahak-bahak sambil memukul-mukuli meja. Dengan suara yang berat, aku mengeluarkan geramannya. Akhirnya aku menghampiri bangku dimana Harry duduk, “ Hngh...hmgrm....! Sapi Gillaaaaa!!”

“ Oow!Riri? Ha...ha..ha..ha..ha!”

Lalu, tak segan aku menginjak kaki kanan Harry dan menarik kupingnya keras-keras untuk melampiaskan amarahku.

“ Iiiiiih!! Ngaku!! ngejek kan?!”

“A..aaaaduuuuh sa..saaaaakiiiit! ampuuun!!” Harry terlihat kesakitan. Saat itu, Dilla masuk kelas, dan karena aku tidak mau Dilla sahabatnya marah kembali padanya, akhirnya aku mulai berekting dihadapannya dan berpura-pura menanyakan keadaan Harry. “Nah.. giitu donk! Akur gak kayak kucing dan anjing!” Dilla menjuluki kami berdua sebagai kucing dan anjing.

Setelah pelajaran keenam selesai, bel istirahat pun berbunyi kembali. Dan seperti biasanya semua siswa keluar dengan terburu-buru dan berdesak-desakkan dari kelas menuju kantin atau tempat lainnya yang biasa mereka kunjungi. Saat itu, Dilla sengaja meneraktir semua siswa kecuali aku dan Harry. Mungkin karena kebetulan aku dan Harry masih jomblo, Dilla bermaksud menjodohkan kami. Dan sebagai imbalan dari traktir bakso atau sebagainya, mereka harus meninggalkan kelas dan mengunci Harry dan aku dari luar. Suara pintu terdengar begitu keras hingga Harry dan aku merasa kaget. Pintu yang terbanting di dinding, dan terkunci dari luar, dan hanya ada satu yang bisa membukanya, yaitu guru yang mengajar dan akan masuk ke kelas ini.

Tampaknya Harry tenang-tenang saja, sementara aku menghampiri pintu kelas dan mencoba membukanya. Aku mulai marah, saking marahnya, ku tendang-tendang pintu dan memukul-mukul pintu yang terbuat dari kayu itu. Tendangan ku meluncur dengan keras sampai-sampai membuat kerusakan pada pintu.

“ Ih..!! HiiiyaaaattT!!” Ku tendang kembali pintu itu dan berharap bisa membukannya.

“ Harry!!” Woy denger donk! Kamu kok malah diem aja? Bantuin donk!”

Harry tidak mendengar perkataan ku. Karena omongan ku tidak didengar oleh Harry, akhirnya ku menghampirinya yang sedang asyik baca komik.

“Brengsek!” Ternyata ku lihat Harry sedang memakai Headshet ditelinganya sambil mendengarkan musik. Pantas saja pembicaraanku tidak didengar.

Lalu aku mulai mencari Tipnya. Dan akhirnya ku temukan juga! Haha...tau rasa dia. Lalu ku besarkan volume tipnya. Lalu tiba-tiba......

“Haaaaaa!! Gilaa!! Buset..!! kamu kerjaannya gangguin aku aja!Kangen yaa...sama aku?? Hayoo!! Ngaku.....” ku hampiri Harry dan sambil berteriak,

“Pintu kekunci Tablo!!Najis!! Aku ngangenin Kamu!!”

“ Pintu? Mana? Ah.. kamu cuman pura-pura kan? Padahal kamu ingin kita berdua disini?”

“ Sorry! Enak aja aku disatuin sama Sapi gila.”

“ Okey! Mana! Buka pintu aja gak bisa!”

lalu Harry menghampiri pintu kelas yang masih tertutup dengan rapat.

Dan Harry mencoba membuka pintu itu, dengan pegangan yang kuat, ia mulai menariknya. Tetapi karena lama menunggu Harry yang sedang membuka pintunya, akhirnya aku duduk dikursi Harry dan membaca komik miliknya sambil mendengarkan musik.

Setelah lama tak bisa dibuka, wajah Harry yang tadinya ceria kini berubah menjadi pucat dan berkeringat. Tubuhnya dingin dan ia mencoba menahan diri agar tidak jatuh kelantai. Tetapi karena sudah terlalu lemas dan kehabisan energinya, akhirnya Harry pun jatuh dan tak sadarkan diri. Tubuhnya yang membentur lantai begitu keras terdengar. Sayangnya saking tak terdengar apapun aku tak sempat menolongnya, aku malah asyik saja membaca sambil mendengarkan musik. Sementara itu, anak-anak diluar sudah tidak sabar ingin melihat mereka berduaan dikelas. Tetapi saat pintu yang tadinya dikunci, akhirnya dibuka karena mereka pikir, aku dan Harry sedang bersenang-senang, tetapi itu tidak benar.

Dila kaget ketika melihat Harry tergeletak pingsan didepannya.

“Harry? Kamu kenapa?” Dila terlihat kebingungan.

Sementara itu... “Harr! Gimana, udah bisa buka pintunya belom?”

Dengan marah sambil mengerutkan dahinya, Dila menghampiri ku dan membuka Headsetnya, dan bicara dengan nada kencang di depan telingaku.

“ Harry Pingsaaaaan!!”

“Waaaaa??!!” Ku letakkan komik itu di meja.

“Whattt??... siapa yang pingsan?”

“Harry!”

Dan Dila beranjak begitu saja dari hadapan ku dan mencoba meminta bantuan pada teman-temannya untuk memindahkan Harry keruang UKS yang tak jauh letaknya dari kelas. Setelah itu, Dilla mencoba memberikan obat-obatan pada Harry agar Harry dapat pulih.

Lalu, tiba-tiba Harry sadar “Dilla, aku mau minta maaf sama semuanya. Dan aku ingin aku hadir dalam hari kematianku ini..”

“Uhh...so..sweet!!” Sorak teman-teman di UKS.

“ Har! Kamu jangan ngomong gitu donk!”

“Yaa..hh..elaaa...hhh..Gitu doank pake mati!” Lontar Adit teman sekelas mereka.

Lalu aku datang dan melihat Harry yang pucat, badannya dingin, dan tubuhnya yang gemetar. Sementara Dilla dan kawan-kawan pergi meninggalkan kami berdua. Mau melanjutkan rencana mereka tadi, gittuu....“Harry, kamu gak apa-apa kan? Maafin aku...aku gak pernah bisa serius.”

Lalu aku mendekat dan memegang tangan Harry. “Ya ampun! Dingin banget... kamu sakit apa sih sebenarnya?”

“Penyakit aku gak bisa disembuhkan. Aku seorang penderita.... penderita.... Leukimia. Umurku juga gak panjang, jadi percuma kalau aku ulang tahun lalu semua yang aku undang bernyanyi panjang umurnya.”

Mendegar perkataan Harry, teman-temannya tiba-tiba tersenyum keheranan.

“Tuhan itu adil! Siapa tahu keajaiban akan terjadi pada diri kamu!”

“Ka, maafin aku yah tentang kejadian 2 minggu yang lalu. Aku sebenarnya masih banyak masalah sehingga aku kurang mengontrol diri sewaktu kamu menasihatiku untuk berhenti mengikuti balap motor bersama kedua gank yang gak aku kenal..”

“Gak apa-apa kok.” Lalu aku mulai memperlihatkan senyuman khasnya yang manis. Dengan tak ragu-ragu, Harry membalas senyumannya itu dan memegang kedua tangan ku dengan erat.

“Harry! Jangan kenceng-kenceng donk! Kamu megang tangan aku aja kayak megang apaaa gitu!”

Setelah Harry melepas pegangannya, tangan ku begitu merah dan aku juga merasa kesakitan sambil meloncat-loncat dan meniup-niupkannya.

“Sorry Ri! Aku gak sengaja dan lagi pula walau aku sering benci sama kamu, tapi aku juga masih ada rasa sayang sama kamu.” Ucap Harry sambil menatap ku.

“Kalau gitu, kenapa waktu aku kepeleset didepan guru kamu malah ngetawain aku? Terus waktu aku gak sengaja buang gas di sekolah kamu malah pura-pura pingsan? Padahal kamu pernah bilang ke aku, kamu suka dengan aroma gas aku ini?” Kesal ku kembali teringat.

Lalu Harry membalas teguran ku,

“Yah udah, gak usah dibahas donk!”

“Gak dibahas gimana, aku udah sakit hati gini, kamu malah bilang gitu ke aku!” Aku kembali ngomel pada Harry.

Lalu Harry terlihat semakin kesal dan ia malah makin meninggikan nada bicaranya.

“Lho! Kok kamu jadi ngotot gitu sih?” Sentak Harry pada ku.

“Yah kamu juga ngapain pake marah gitu? Bukannya minta maaf!” Balas ku pada Harry.

“Trus, lagian, kamunya terlalu ngedesak aku!” Harry kembali menentang ku.

“Oh... jadi kamu nuduh aku gitu?” Aku kembali marah pada Harry.

“Uhh..capek Deh!” Gumam Dila.

“Diaaaaaam!!”

Tiba-tiba teriakan keras terdengar dan sempat mengehentikan pertikaian yang sedang berlangsung.

“Oke! Kita putus!” Aku kembali melanjutkan omonganku tanpa mempedulikan teriakan itu.

“Sejak kapan kita pacaran?” Harry bertanya dengan nada heran dan sedikit mengejek.

Aduh.. Aku mulai merasa malu dan dia tiba-tiba aku menangis dengan wajah sedih yang tak tertahankan, ku tinggalkan ruang UKS begitu saja.

“Riri!! Tunggu!” Sahut Harry sambil mencoba mengejarku. Tapi karena diriku masih lemas dan kurang bertenaga karena kejadian tadi di kelas, akhirnya dia tak bisa mengejar ku. Lalu saat aku keluar ruang UKS, Dilla mengejarku.

Ternyata entah aku merasa hubunganku dengan Harry itu bisa dianggap serius, tapi masalahnya Harry belum bisa menerima dengan begitu saja.

“Riri ngapain kamu di ruang laboratorium?” Tanya Dila sambil keheranan melirik kesekitar sudut.

“Aku ingin membuat percobaan ramuan supaya aku bisa buat Harry tunduk padaku!”Jawab ku dengan tegas, sambil menatap peralatan laboratorium.

Dilla menganggap pikiran ku sudah mulai ngawur. “Loh, kamu ini ada-ada aja dech!”

“Emangnya kenapa?” Tanya ku heran dengan nada jutek.

“Kita kan belum diajarin tetang ilmu praktek kimia di laboratorium kalee?”

“Oh.. iya,” Jawab ku malu-malu.

“Kamu jadi peing gitu sih?” Lontar Dila dengan heran.

Tiba-tiba saat aku membalikan badanku dan melirik pandangan ku tertuju pada Dila sambil mendekatinya dengan wajah harimau ku yang khas sebagai pelindung bagi diriku hehe....

“Heh..!! barusan kamu bilang apa?” Tanya ku sambil bertolak pinggang.

“Kamu peing!” Setelah Dilla selesai menjawab pertanyaan ku, dia langsung lari dengan sekencang-kencangnya untuk menghindar dari harimau yang sedang beraksi.

“Hei tunggu!!” Teriak ku dari kejauhan..

“Hey!! Awaaass!! Ada Guru!!”

Dengan kaget aku pun kembali berteriak pada Dilla.

Karena Dila hanya memandang pada ku, dan ia tidak mengetahui kalau didepannya itu guru yang sama tidak melihat kedepan, hanya melihat ke daftar nilai yang sedang dibawanya. Akhirnya mereka bertabrakan tepat seperti dugaan ku.

Brruggkkk!! “Mampus tuh!!” Aku tersentak. Astaga! Kaki guru itu, menendang kaki Dilla karena guru itu berbadan besar, sehingga Dilla melesat kearah ku. Dan akhirnya percis, aku terjatuh tepat dibadan Dilla.

“Owuch!!!! Sakit Kaaaaaa!”

Aku juga tampaknya mengalami cedera pada kaki ku. Akhirnya guru yang sudah bertabrakan dengan Dilla mencoba bangun dari lantai dan menghampiri aku dan Dilla yang sudah menyiapkan rencana untuk kabur dari hadapannya.

Lalu ku beri aba-aba siap untuk segera menuju ruang kelas.

“Siap...Go!!” akhirnya kami berdua melesat segera menuju ruang kelas.

Kemudian, esoknya seperti biasanya. sebelum pelajaran dimulai, guru yang kemarin kami tabrak, memanggil aku dan Dilla untuk segera keruanngannya. Apa yang terjadi?

Lalu aku dan Dila segera menuju keruang guru. Setelah tiba disana, guru itu menyuruh aku duduk dikursi depan meja kerjanya.

“Kamu Riri dan Dilla?”

“Ya, saya Dilla dan ini teman saya Harimau! Eh maksud saya Riri.”

Lalu aku cubit paha Dila. “Hey!”

“Ada apa?” Tanya guru itu

Lalu mereka berdua menjawab dengan bersamaan. “Tidak!’

“Baiklah, kalau begitu, ibu akan mulai. Begini, apa kalian yang kemarin menabrak ibu?”

“I..iya..” jawab ku sambil gemetar.

“Maaf bu! Saya gak sengaja kok..” Lalu omongan ku dilanjutkan oleh Dilla. Dan dilanjutkan kembali oleh ku.

“Iya bu!”

“Bukan, ibu malah berterima kasih karena kalian, paha ibu yang sedang keseleo, jadi sembuh sekarang..”

“Sumpeeh loh??” Kaget ku berubah menjadi bingung keheran-heranan.

“Husss!! Bener bu? Ibu gak salah?” Tegur Dilla pada ku dan ikut terheran-heran.

Akhirnya mereka pergi dengan wajah tenang sedikit ingin tertawa. Dan kami coba menemui Harry. Tapi sayangnya, saat aku dan Dilla pergi menuju kelas, kami tidak melihat adanya Harry di sana. Lalu kami menanyakan tentang Harry pada teman-temannya. Saat kami mendapatkan jawabannya, bahwa Harry belum datang juga. Setelah bel berbunyi, aku dan Dilla tampak cemas karena ia takut Harry kenapa-kenapa.

Setelah itu, guru bidang studi membawa Harry masuk kelas dan...

“Anak-anak, ini adalah pertemuan terakhir Harry dengan kalian dan ibu. Maka itu, kalian harus mendengarkan pesan yang akan Hary sampaikan.”

Aku dan Dilla begitu terkejut saat melihat Harry dengan kepala menunduk dan mendengar bahwa dia akan pindah sekolah sekaligus pindah rumah yaitu ke luar negeri karena ayahnya ada tugas di Semarang. Tetapi, sebenarnya, Harry bisa juga lebih lama disini, karena dia sudah bosan bertengkar dengan ku, maka ia memutuskan untuk pindah saja.

Dan kabar baik aku dan Dilla menjadi kabar yang sia-sia. Lalu aku dan Dilla menghampiri Harry.

“Har! Dengerin aku, aku tau kamu udah bosen ngeliat aku marah ke kamu terus kan? Jawab Har! Kamu tega! Aku pikir kamu adalah orang yang kuat tapi ternyata...aku salah! Plisss Har! Jangan pergi! Maafin aku...”

Ku paksa sambil memegang tangannya dengan air mata yang menetes dan berharap Harry dapat mencabut keputusannya itu. Tapi, terlanjur Harry sudah tak mau melihat wanita pujaannya itu begini.

Lalu Harry pergi keluar kelas dan...

Ku tak kuat menahan tangisku yang begitu kehilangan sahabat pelampiasan amarah ku yang kini akan pergi jauh. Akhirnya aku terjatuh kelantai dan pingsan tak sadarkan diri. Dan guru mencoba membawa ku keruang UKS untuk mendapatkan perawatan.

Sementara itu, Dilla mencoba mengejar Harry yang tak jauh dari kejarannya itu. Setelah Dilla berhasil mencegatnya, “Har! Kamu gak kasian sama Ika? Gitu-gitu juga, Riri merasa bahwa kamu itu udah resmi jadi pacarnya! Kadang-kadang dia juga punya rasa kasihan dan kamu udah buat dia sedih!”

“Tapi aku udah nggak mau ngerepotin kalian berdua!” Harry juga menangis dan mencoba menahannya.

“Itu kata kamu karena menurut kamu Ika itu selama ini direpotin sama kamu! Yang ada kamu sam dia itu, paling sering berantem! Udah akur-akur mesra, eh jadi berantem lagi!”

“Harry!! Ayo nak, sudah siang!”

“Gue harus pergi La!”

“Ta..ta..pi Har!” Dilla tak bisa lagi mengejarnya karena Harry sudah terlanjur menaiki mobilnya dan siap berangkat menuju bandara.

Setelah kejadian itu, aku mulai menjadi seorang yang penuh kemarahan seperti pertama aku masuk ke sekolah ini. Aku menjadi seorang yang penuh emosi, masalah sedikit saja, ku anggap dengan serius. Itulah sifatnya yang suka berubah-ubah. Lalu Dila mencoba memberi saran pada ku agar dapat menemui Harry.

Tugas Cerpen, Rosni Mentari, XI BAhasa


Tugas Puisi, Rosni Mentari, XI BAhasa

Kehancuran..

Betapa hancur kini yang ku rasa..
tak lagi ku bahagia seutuhnya...
aku hanya bisa memendam kesedihan yang lukai hati ini...
namun ketegaranku,akan membimbingku dalam kehidupan ini...
meski luka ini berganti waktu demi waktu,
namun tak bisa ku ingkari...
bahwa aku menyayanginya...
seutuhnya takkan ku lepas cinta ini...
karna esok, bukanlah suatu akhir rasa ini...
namun esok adalah perjuangan yang harus ku lewati....
melupakan rasa sakit yang lalu...
bukanlah keputusan yang tidak dapat ku terima...
semakin jauh luka yang aku dapatkn...
semakin sulit tuk menghapusnya...
karena terlanjur sudah menggores dalam hatiku...
kini yang aku lakukan...
hanya memendamnya,
dan mengeluarkannya saat yang tepat...
saat dimana bisa ku curahkan...
akan ku lakukan semampu aku berkata...
akan ku lepaskan selepas ku menangis...
dan akan ku lupakan sejauh ku bersamanya...
jika aku adalah manusia yang ditakdirkan mencinta...
sesulit apapun yang ku hadapi... kan coba tuk bertahan...
luka yang telah membeku itu...
akan aku jadikan semangat untuk semakin mencintainya...
karena...
sedalam apapun penderitaanku,,,
ku kan coba memaafkan hatinya...
dengan cintaku...