Sabtu, April 24, 2010

TUGAS CERPEN

                                 JUBAH         
Karya: Hesti Dwi Savitri

            Di sekolahku ada seorang murid baru dari Jawa. Kedatangannya yang tiba-tiba ditengah semester dan penampilannya amat luarbiasa berbeda menggegerkan seisi sekolah.
            Suatu hri Pak Aslan membawa seorang siswi pindahan ke kelas kami. Semua orang menahan napas ketika melihat kerudung panjangnya melambai bagai jubah. Tubuhnya tebungkus seragam yang longgar. Tangannya disembunyikan di balik kerudungnya dengan tertib, dan roknya yang sarat akan rempel menjuntai sampai ke ujung sepatu. Gadis itu benar-benar bagai kepompong. Sungguh, baru kali ini aku melihat seorang muslimah seperti itu, setidaknya tidak di sekolah kami. Tak ada seorang muslimah seperti itu. Bahkan anggota rohis sekalipun terlihat lebih manusiawi dan modis dari pada dia, terlebih dengan kerdung panjang yang lebar yang tampak berat membatasi gerakannya. Kemudian gadis itu memperkenalkan dirinya.
“Assalamualaikum. Nama saya Siti Humairah. Salam kenal.”
Sejenak aku tertegun ditengah riuh rendah suara teman-teman sekelasku. Setelah beberapa saat diliputi keterkejutan, akhirnya monyet-monyet itu mulai berani menunjukan sifat aslinya dan menggoda gadis itu. Tapi tidak untukku. Suara gadis itu telah memberiku kejutan lain. Suaranya terlalu jernih dan tegas untuk seorang gadis dengan jubah ekstra seperti itu, apalagi perkenalannya tadi terlalu singkat tanpa embel-embel keramahtamahan.
Aku heran, bukankah biasanya seorang muslimah itu selalu bersikap ramah dan bersahabat pada semua orang. Tapi gadis itu, Siti Humairah, tak pernah sekalipun tersenyum dan memandang ke arah kami. Suaranya yang dalam seolah bercerita bahwa ia takkan pernah mengajak kami mengikuti jejaknya. Ia bahkan tidak peduli kami ada atau tidak. Dia telah menutup dirinya dari siapapun.
***
Siti Humairah, gadis berkerudung panjang itu sudah satu bulan menjadi warga baru di sekolahku. Sejak awal kepindahannya ke sekolah, dia selalu menarik perhatianku dan semua orang di sekolah. Bukan hanya karena penampilannya yang terlalu jilbaber di tengah masyarakat kelas kami yang heterogen, tapi juga pemikiran-pemikiran dan cara pandangnya membuat kami semua tercengang.
Sebenarnya Siti Humairah adalah orang yang pendiam dan penyendiri. Benar perkiraanku ketika aku pertamakali melihatnya kalau dia akan menutup dirinya dari kami semua. Dia tak pernah mau bergaul, bicara pun sangat jarang. Bahkan yang paling membuatku bingung, gadis itu tak pernah tersenyum, padahal biasanya seorang muslimah selalu ramah pada semua orang. Karena itulah sampai sekarang dia tak pernah punya teman. Teman baginya hanyalah kebisuan dan mesjid, serta mushaf kecil yang selalu dipekurinya setiap ada jam kosong.
Tapi semua kebungkamannya itu berubah menjadi seruan tajam dan menggebu-gebu ketika ia mengungkapkan pemikirannya di depan kelas. Diskusi kelas menjadi ajang baginya untuk bersuara. Tak ada seorang pun yang berani bergerak ketika dengan beraninya ia mengutuk orang-orang barat yang telah menyebabkan Perang Dunia I dan II. Dia menyebut mereka sebagai orang-orang idiot berhati batu, memecah belah negara, membunuh jutaan orang, dan menghancurkan diri mereka sendiri. Humairah juga tak sungkan-sungkan menyebut globalisasi sebagai era kemunduran yang terjahiliyah.
“Pergaulan bebas, pelacuran tingkat atas, korupsi, pembunuhan, dan semua yang kalian anggap sebagai kemajuan hanya omong kosong belaka! Apa bedanya dengan jaman dulu? Ketika peradaban manusia hanya sebatas berburu dan meramu, tanpa mengerti moral dan nilai-nilai yang murni? Mungkin hanya caranya saja yang sedikit berbeda, lebih modern, lebih wah, dan lebih licik!”
Dan berpuluh-puluh ketidak adilan dan penyimpangan meluncur mulus dari mulutnya dengan tajam dan menegangkan. Jelas dia tak pernah menyukai semua yang kami anggap sebagai kemajuan terhebat sepanjang masa. Dia membenci setiap detik perubahan yang justru membuat ciri-ciri kiamat semakin jelas terlihat.
Setelah ketegangan itu, dua jam setelahnya semua orang menertawakannya. Meskipun sempat terbersit pembenaran dalam hati mereka, namun bagi orang-orang yang hanya satu tahun sekali mendengar ceramahan, maka hal itu mereka anggap sebagai omong kosong belaka. Ia semakin dikucilkan dan dibenci. Dan semakin Humairah dilukai, gadis itu semakin berani menentang semua. Bahkan terakhir kali dia berani mengutk sistem gereja di Inggris pada tahun 1880-an yang menganggap bahwa wanita yang meninggal ketika hamil atau melahirkan dianggap tidak suci dan pantas disejajarkan dengan pembunuh dan perampok, padahal di kelas kami ada orang yang beragama Nasrani.
***
Jubah gadis itu melambai memasuki rumah kontrakan. Dia begitu tergesa-gesa hingga tak menyadari keberadaanku dan Apeng yang diam-diam mengikutinya.
Seminggu yang lalu dua orang teroris tertangkap di rumah kontrakannya di Sidoardjo. Tak ada seorang pun yang menyadari kalau mereka adalah teroris yang mengebom hotel mewah di Jakarta satu bulan yang lalu.
“Habis orangnya tertutup sih. Tapi dia juga baik, bahkan suka ngajar anak-anak ngaji. Jadi mana saya tahu kalu ternyata dia teroris.” Kata salah seorang tetangga teroris itu ketika diwawancara di TV.
Atas dasar kesaksian itulah teman-teman sekelasku mencurigai Humairah sebagai salah satu teroris lainnya. Aku tahu saat ini semua orang sedang resah karena takut diantara mereka ada teroris yang sedang bersembunyi, apalagi katanya masih ada teroris yang belum ditangkap. Tapi mencurigai Humairah sebagai teroris adalah hal terkonyol yang pernah kudengar. Humairah memang tertutup dan misterius, tapi aku yakin dia bukan teroris. Namun sialnya, tak ada yang mau mendengarkanku. Mereka malah menugasiku untuk mengikuti Humairah kemana pun dia pergi.
“Wah, men, rumah kontrakan!” Seru Apeng.
“Kata siapa rumahsakit!” Jawabku ketus. Aku benar-benar tidak menyukai hal ini.
Men, men! Jangan-jangan si bau sorga itu beneran teroris lagi!” Bisik Apeng sambil memandang ngeri rumah kontrakan kecil yang berada beberapa meter dari tempat pengintaian kami di balik pohon nangka. “Di dalam tu kontrakan pasti ada terori lainnya yang lagi ngerakit bom gede buat ngebom kota kita!”
“Ah…parno lo! Gak ada, gak ada…..! Di rumah itu gak ada terorisnya kok. Cuma ada ibu sama bapaknya doang!” Sahutku cepat. Gila! Sarang teroris ada di lingkungan ramai kayak gini?! Huh, orang bodoh mana yang mau bunuh diri disini! Dasar Apeng bloon!  Gerutuku dalam hati.
“Tahu dari mana lo?”
Pertanyaan Apeng langsung membuatku salting. Aku tidak bisa mengatakan padanya kalau sudah sebulan ini aku mengikutinya dan mencari tahu tentang dirinya dari anak pemilik kosan yang merupakan temanku. Toh selama penyelidikanku, tak ada yang aneh tentang gadis itu. Dia tinggal bersama kedua orangtuanya. Ayahnya tukang bengkel di pasar dan ibunya adalah seorang ibu rumahtangga biasa. Aku memang sempat curiga kalau dia adalah salah satu jemaat aliran sesat yang sekarang banyak beredar. Tapi nyatanya semua itu hanyalah kecurigaanku saja.
Men, jangan bilang kalau lo suka sama tu ustadzah dan lebih dulu nyelidikin dia dari pada gue?” Seru Apeng dengan senyum menyeringai.
“Sinting lo!” Umpatku sambil menjitak kepalanya yang plontos. “Kalau pun gue nyelidikan dia, bukan berarti gue suka! Gue tahu kalau Humairah bakal jadi masalah buat kita, karena itu gue nyari tahu soal dia. Tapi sejauh penemuan gue nih, gak ada tuh yang aneh sama dia. Dia dan keluarganya juga kenal sama orang-orang di lingkungan sini. Jadi gue rasa cewek itu bersih, bukan teroris!”
“Nah, itu dia yang mereka mau! Lo udah dibohongin, men, lo udah ditipu! Mereka sengaja berbaur biar gak ketahuan siapa mereka sebenernya. Lo kan pinter, men, jadi lo pasti tahu dong kalau semakin lo kelihatan biasa lo semakin gak bakal dicurigai, dan semakin lo kelihatan mencolok, lo akan semakin dicurigai!” Kata Apeng, membuatku tercengang dengan semua kecurigaan yang membuat otaknya mendadak pintar. Apa yang dikatakannya memang masuk akal, tapi tak ada bukti nyata yang menunjukan kalau Humairah memang teroris, atau…setidaknya itulah yang mereka pikirkan tentang Humairah.
“Wah, siapa lagi tuh?” Tanya Apeng dengan penuh curiga.
Aku melihat ke arah yang ditunjukan Apeng. Seorang pria berjubah dengan jenggot panjang keluar dengan tergesa-gesa dari rumah kontrakan Humairah sambil membawa sebuah tas hitam yang besar. Tak berapa lama sebuah mobil jip berhenti tepat di depan pria misterius itu, kemudian pria itu pun menghilang bersama debu yang ditinggalkan mobil itu.
Aku dan Apeng tertegun menatap kepergiannya. Ada banyak hal yang berkecamuk dalam pikiran kami. Dan Apeng lah yang lebih dulu mengatakannya.
“Kita susul mereka?” Tanya Apeng setengah menyarankan.
Aku menggelengkan kepala.”Gak, gak usah, kita pulang aja.” Jawabku cepat sambil menghidupkan motorku. Hatiku langsung tidak enak. Tanganku gemetar memikirkan apa yang baru saja kulihat. Orang itu, pria itu, mirip sekali dengan salah satu teroris yang ditangkap seminggu yang lalu, hanya saja pria misterius yang kulihat brausan tampak lebih tua dan kurus. Tapi aku yakin raut wajah mereka tak jauh berbeda, seperti pinang dibelah dua.
Aku pun segera melarikan motorku kencang di jalanan, berusaha menghapus bayangan pria berjubah dan kecurigaanku kepada Humairah yang tiba-tiba saja muncul dalam benakku. Humairah, teroris?
***
Humairah disidang hari ini oleh teman-teman sekelasku. Atas laporan yang disampaikan Apeng, mereka semua sepakat mengintrogasi gadis itu. ketika Humairah mendengar alasan pemanggilannya, dia nyaris tergelak saking konyolnya. Namun aku bisa melihat tangannya gemetar dibalik jubah putihnya.
“Ayo mengaku saja! Barangkali saja dengan begitu hukumanmu akan lebih ringan.” Seru seseorang di bangku belakang.
“Mengaku apa? Apa yang harus kuakui? Lagi pula kalian bukan Tuhan yang berhak menghakimi siapa pun!” Sahut Humairah dengan tegas.
“Jangan bawa-bawa Tuhan untuk menutupi niat jahatmu! Dasar munafik! Kau bersikap seolah dirimulah orang yang paling suci, paling tidak bisa disentuh, bahkan disapa sekalipun. Tapi nyatanya kau lebih busuk! Setelah memecahbelah kami dengan semua argumen hebohmu, sekarang kau malah bersekongkol dengan teroris!” Cerca Dio.
Wajah Huamirah langsung merah padam. Matanya berkilat menahan amarah. Seketika tembok ketenangan yang selama ini ia bangun dengan kokoh seolah runtuh oleh emosi yang jarang diperlihatkannya.
“Aku bukan teroris!Bukan!” Seru Humairah nyaris berteriak yang membuat kami semua sejenak tercengang. “Apa dasar kalian menuduhku sebagai teroris? Apakah karena aku memakai burqa? Atau karena membenci orang-orang barat itu? Hei, teman-temanku yang baik, tidak semua yang memakai kerudung panjang itu punya niat jahat, dan tidak semua orang yang membenci Amerika itu teroris! Sejak kapan kalian mulai berpikiran bodoh seperti itu? Kalian juga adalah orang Islam, tapi mengapa kalian malah mencurigai saudara sendiri sebagai teroris? Rasul mengajarkan umat-umatnya untuk tidak menyakiti siapa pun, bahkan orang non-muslim sekalipun! Tapi kenapa kalian malah menyakitiku dengan menuduhku sebagai seorang teroris?”
Ada kesenduan dimata yang selalu berkilat tajam itu. Humairah benar-benar terluka dengan tuduhan itu. Aku mengerti, tapi sialnya aku tak bisa membelanya setelah penguntitan yang kulakukan selama ini.
“Alah….bullshit! buktinya kemarin Apeng dan Donny ngeliat teroris keluar dari rumah lo!” Kata Tito.
Humairah berbalik menatapku tidak percaya, seolah matanya berkata ‘jadi selama ini kalian memata-mataiku?!’. Aku tak sanggup menatapnya.
“Teroris apa?” Tanyanya dingin tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
“Itu, cowok brewok yang keluar dari rumah lo sambil bawa tas gede dan naik mobil jip! Dia pasti teroris. Dan barang yang dibawanya itu pasti bom!” Jawab Apeng cepat.
Tiba-tiba untuk pertama kalinya kulihat Humairah tersenyum, senyuman sinis yang seolah menerorku ‘dasar bodoh!’.
“Apa orang itu memakai jubah dan sorban?” Humairah malah balik bertanya. Kini nada suaranya terdengan lebih tenang meski kesinisan itu semakin pekat terasa.
Aku dan Apeng mengangguk bingung.
“Apa kau sudah mau mengakui kesalahanmu?” Sindir Febi.
“Kesalahan?” Humairah membulatkan matanya. Sejenak ketenangan yang menghinggapi wajahnya berganti dengan amarah. “Apakah menjadi tukang bengkel itu adalah sebuah kesalahan? Berjenggot dan berjubah itu adalah salah? Ayahku bukan teroris! Dia seorang pejuang, pejuang keluarga yang mati-matian mencari nafkah untuk memerangi kelaparan! Apakah yang seperti itu juga kalian anggap sebagai teroris?” Seru Humairah, namun kemudian suaranya kembali melembut.”Aku tahu aku berbeda dengan kalian, kerudung panjangku, dan pemikiranku mungkin tak bisa kalian terima, tapi aku selalu berusaha untuk tidak menyakiti kalian….”
“Dengan cara menjauhi kami semua?” Tanyaku.
“Ya…mungkin.  Tapi mengapa kalian malah menerorku dengan tuduhan seperti itu?!....”
“Meneror?” Seru Krista tak terima.
“Ya! Kalian selalu menerorku dengan tatapan benci kalian! Kalian membenci kerudungku, kalian membenci caraku beribadah, kalian membenci komunikasiku dengan Tuhan! Kalian….” 
Humairah tak melanjutkan kata-katanya. Matanya lebih dulu mengungkapkan semua amarahnya. Kami semua tercengang melihatnya. Sungguh aku tak bisa menatap mata itu, mata yang dulu begitu tegar namun kini begitu terluka. Kami telah melukainya dengan semua kecurigaan kami. Dan aku telah melukainya dengan kebisuanku yang tak mampu membelanya meski aku tahu bahwa hal itu tidaklah benar.
Sidang pun berakhir dengan kemenangan Humairah yang tak terucap. Sekarang aku tahu bahwa teroris tidak selalu menggunakan bom sebagai senjatanya, tapi lidah, mata, dan semua tuduhan yang tak beralasan bisa menjadi bom terdahsyat yang dapat meluluh-lantahkan hati seseorang, membuat ia menderita, dan terluka, seperti Humairah…
Maaf, Humairah….kau bukan teroris…tapi kini kau telah meneror kami dengan rasa bersalah….
Garut, April ‘10

TUGAS SASTRA

 Nama : Rosni Mentari
Kelas : XII Bahasa

Puisi (4)

Sahabat

Sahabat tak obahnya atmosfher
Yang melindungi semua makhluk di bumi
Dengan merdam sebuah energi besar
Menjadi sumber dari segala kehidupan

Dia bukanlah bagian asli dari fisik

Seperti atmosfher yang hanya berada di sekitar
Membantu kita dari semua masalah
Dengan merubah setiap beban berat di sepanjang jalan
Menjadi sejumlah butiran batu-batu kecil
Yang nantinya akan dimainkan bersama

Satu hal yang perlu kau ingat sahabatku
Jika kau sahabatku
Maka aku adalah sahabatmu

Jangan sungkan
Jangan segan...
Ucapkan, dan ungkapkan
Semuanya...

Kita tak penah tahu
sampai kapan atmosfher bertahan
bahkan oleh karena ulah bumi
di sepanjang perputarannya

tapi bumi tetap butuh itu,
untuk itulah manusia melakukan “go green”
dan untuk itulah aku sampaikan ”ma’af”
sekiranya kau terluka olehku

dunia ini luas
hingga langit ke tujuh
dan di tiap-tiap langit itu
kau akan temukan atmosfher yang lain
yang mungkin lebih baik dari yang ini 





Seseorang yang mencintai kamu...
Tidak bisa memberikan alasan mengapa ia mencintaimu...
Dia hanya tau, dimata dia,kamulah satu satunya...
Seseorang yang mencintai kamu...
Sebenarnya selalu membuatmu marah /gila/jengkel / stres...
Tapi ia tidak pernah tau hal bodoh apa yg sudah ia lakukan...
Karna semua yang ia lakukan adalah untuk kebaikanmu
Seseorang yang mencintai kamu...
Jarang memujimu, tetapi di dalam hatinya kamu adalah yg terbaik...
Hanya ia yang tau...
Seseorang yang mencintai kamu...
Akan marah-marah atau mengeluh jika...
Kamu tidak membalas pesannya atau telpnya...
Karna ia peduli dan ia tidak ingin sesuatu terjadi ke kamu...
Seseorang yang mencintai kamu...
Hanya menjatuhkan airmatanya dihadapanmu...
Ketika kamu mencoba untuk menghapus airmatanya...
Kamu telah menyentuh hatinya...
Dimana hatinya selalu berdegup / berdenyut /bergetar untuk kamu...
Seseorang yang mencintai kamu...
Akan mengingat setiap kata yg kamu ucapkan...
Bahkan yang tidak 


Yang Kukenang

Pagi menyambutku
dengan senyummnya
yang selembut senyummu

Fajar menyapaku
dengan sapaannya
yang semanis sapaanmu

Bulan melihatku
dengan tatapannya
yang seindah tatapanmu

Namun,
senyummu, sapaanmu, tatapanmu
meninggalkanku perlahan

Saat kusadari,
semua itu hanya kenangan
yang kukenang darimu.

 


Arti Cinta

Disaat cinta datang.. hati ini kan merasa gelisah..
banyak mimpi yang tercipta..
angan pun melayang.. hayalkan sebuah kisah..
kisah-kisah yang terindah..

dan bila cinta tlah bertepi,, di pelabuhan dambaan hati..
tuada lagi rasa gelisah
kini yang ada hanya masa-masa indah
tiada lagi angan dan hayalan,, karna mimpi tlah jadi nyata..

hari-hari terasa indah,, mentari selalu bersinar cerah..
awan mendung se’akan sirna
tiada lagi malam sepi,, karna bintang hiasi hati
karna bulan temani indahnya malam

tiada lagi tangis sedih,, karna cinta tlah terbalas
merubah segalanya jadi lebih indah..

TUGAS PUISI


Derit Pedang yang Berderai-derai
Karya: Hesti Dwi Savitri
            
Tajam……..
Lebih tajam dari pedang
Menyilet-nyilet lidahku kelu
Getir……….
Tawa dan senyum kaku
Maaf………
Maaf menjadi tumpul dan tabu
Ah………
Maaf……
Tapi aku terbelenggu
Diikat oleh duri berkawat
Tak dapat bergerak
Tak boleh berteriak

Duh Gusti……
Apa salahku………
Ya, kau punya salah!
Tapi dalam silet kau tak salah
Salah dan salah menjadi batu

Ah…..sekali lagi maaf….
Alangkah sejuk dan mahal maaf itu
Maaf……
Kau tergelak lagi
Ah….maaf
Bukan maksudku
Aku tak mau menjadi pisau berduri untukmu…

Maaf….
Tapi…..       ah…….
Aku tak tahu………….

Jumat, April 23, 2010

tugas sastra indonesia

Tugas Sastra Indonesia
“ puisi “
Nama : Fitria Krisna Handayani
Kelas : XII_Bahasa


“ Gelap “

Betapa hancur hati ku
Kau siksa aku
Betapa sakit hati ku
Kau buang aku

Ku pandang langit yang hitam
Saat ku tunggu malam
Kau pun tak pernah datang
Dan kau buat gelap warna pelangi

Lalu kau datang lagi membuat luka ini
Kau jangan mencoba untuk di sini
Kau jangan mencoba untuk kembali
Bila kau di sini biar ku yang pergi




Tugas Sastra Indonesia
“ puisi “
Nama : Fitria Krisna Handayani
Kelas : XII_Bahasa


“ Dengan mu “

Tak pernah terbayangkan
Bila harus berjalan tanpa diri mu
Tak pernah terpikirkan
Bila aku bernapas tanpa napas mu

Takdir sudah mempertemukan kita
Tuk berdua dan saling menjaga
Dan tak mau aku melewati
Semua ini tanpa mu

Kau hangatkan genggaman tangan ku
Dan berkata akulah milik mu
Dan tak mau aku menjalani
Dunia ini tanpa mu



Tugas Sastra Indonesia
“ Membuat Cerpen “
Nama : Fitria Krisna Handayani
Kelas : XII_Bahasa


“ Anak Turunan Teroris “
     Kabut tebal masih menyelimuti suasana pagi,bukit-bukit di pinggiran desa nampak seperti langit yang jatuh dengan gumpalan awan tebal di sekitarnya hawa dingin tidak bisa di cegah masuk ke dalam rumah melewati lubang angin yang sempit.suasana hening,sunyi,sepi,senyap menyelimuti jangkrik-jangkrik yang semalam bernyanyi sudah tidak terdengar lagi suaranya, sementara burung-burung yang biasa bercanda gurau di pagi hari pun belum menampakan diri, diluar rumah juga tidak terdengar suara manusia yang biasanya sudah sibuk di pagi hari.

     Nurjanah mencoba memejamkan mata kembali dengan mukena yang masih menutupi lekuk tubuhnya berbaring di sajadah yang terhampar di lantai kamar, matanya memang tertutup namun jiwanya berkelana tak terbatas ruang dan waktu. mencoba kembali menjelajahi kisah hidupnya yang masih sepenggalan waktu di dunia. hidup yang hanya sebentar namun telah di isi dengan segala macam kepedihan dan luka yang akan terus mengganggu sepanjang masa. ”mengapa semua ini harus terjadi ?” hanya itulah pertanyaan yang selalu menghantui. belum lama dia memenuhi kewajiban sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya dengan merelakan diri di jodohkan dengan seorang laki-laki yang sama sekali tidak di kenal,seorang lelaki yang berbadan tegap raut wajah memang teduh dengan senyuman manis selalu menghias, tingkat kesopanan yang di tunjukan di atas rata-rata, perempuan mana yang tidak akan jatuh hati memandangnya? sungguh keberuntungan yang datang tanpa dia impikan sebelumnya saat sang ayah mengenalkan sosok laki-laki itu sebagai calon suaminya, tapi tidak banyak orang yang bisa dia ajak berbagi rasa dengn semua kegembiraan itu, kehidupanya selama ini mengharuskan dia terjebak dalam lingkungan aturan agama dan ketegasan ayahnya sebagai seorang ulama, tidak ada yang di sesali sejauh itu sebelum cerita berganti dengan kenyataan pahit yang harus di telan mentah-mentah.


     Nurjanah menghela nafas panjang, matanya rapat terpejam mencoba menerima segala kenyataan hidupnya. Sebelum menikah sudah sejak lama dia tahu banyak lelaki yang menaruh hati bahkan tak segan-segan mencoba mengungkapkannya langsung meski harus mencuri-curi pandang saat ayahnya tidak memperhatikan. Sebenarnya dia heran juga, apa sebenarnya yang lelaki kagumi dari dirinya? Sepanjang hari tubuhnya selelu ditutupi dengan busana yang menutup dari atas ke bawah, hanya matanya saja kadang yang terlihat bahkan seringkali harus ditutupi dengan kacamata hitam bila harus keluar rumah ditengah terik mentari. Sehingga akhirnya dia mengambil kesimpulan banyak lelaki yang tertarik dengannya karena sosok sang ayah merupakan ulama terkenal dan disegani didaerah setempat. Kesimpulan yang menjauhkan diri dari rasa riya dan kesombongan terhadap penilaian diri yang berlebih.


     Mentari masih saja sembunyi di balik kabut, atau sebenarnya kabut tidak rela bila mentari menerangi bumi? Entahlah, kebingungan yang mungkin sama dengan yang dirasakan nurjanah saat ini. Matanya terbuka mencoba mengikuti gerak tangannya yang meraba-raba perutnya yang membuncit. Usia kandungannya baru beberapa bulan, rasa mual masih sering timbul dengan permintaan masa ngidam yang aneh-aneh. Sekarang ini jangankan memenuhi segala keinginannya, mencoba bertanya pun malah tidak ada seorang pun yang berani melakukannya. Kini hidupnya semakin terasing diantara riuh rendah suara-suara manusia yang nyaring terdengar. Dulu dalam keterasingannya dia menerima dengan ikhlas sebagai bukti bakti dan patuh menjalankan perintah agama, orang-orang diluar pun tidak ada yang berkomentar buruk bahkan mereka merasa ikut bangga dan salut dengan hidupnya yang agamis.


     “ Nur…,” Tiba-tiba tersdengar suara lirih ibunya dari depan pintu kamar diselingi ketukan-ketukan ringan di daun pintu.


     “ Nurr, banguuun. Pak polisi minta kita segera bersiap, kita berangakat sebentar lagi”


     Suara ibunya kemudian hilang, apa yang kemudian terjadi tidak diperhatikannya lagi. Mata nurjanah kembali terpejam dengan linangan air mata yang membasahi pipi. Amar, lelaki yang di jodohkan ayahnya menjadi suaminya ternyata adalah tersangka peledakan bom. Teroris yang sudah sejak lama diburu aparat kepolisian. Tidak ada yang mengira bahkan dirinya sendiri pun tidak pernah menyangka, suaminya akan bernasib tragis, tewas berlumuran darah dengan lobang peluru menembus tubuhnya disana- sini. Kondisi manusia yang berlumuran darah seperti itu pernah dia lihat di berita televisi saat korban bom di sebuah hotel sedang dievakuasi. Kini dia harus melkihat langsung bahkan manusia itu adalah Amar, suaminya, Inikah buah dari perbuatan suaminya? Tidak ada seorang pun yang berani menjawabnya Sambil meraba perutnya yang buncit, Nurjanah semakin menangis tersedu.
     “ Bagaimana anakku nanti bila memngetahui bapaknya seorang teroris?”