Jumat, April 23, 2010

tugas sastra indonesia

Tugas Sastra Indonesia
“ puisi “
Nama : Fitria Krisna Handayani
Kelas : XII_Bahasa


“ Gelap “

Betapa hancur hati ku
Kau siksa aku
Betapa sakit hati ku
Kau buang aku

Ku pandang langit yang hitam
Saat ku tunggu malam
Kau pun tak pernah datang
Dan kau buat gelap warna pelangi

Lalu kau datang lagi membuat luka ini
Kau jangan mencoba untuk di sini
Kau jangan mencoba untuk kembali
Bila kau di sini biar ku yang pergi




Tugas Sastra Indonesia
“ puisi “
Nama : Fitria Krisna Handayani
Kelas : XII_Bahasa


“ Dengan mu “

Tak pernah terbayangkan
Bila harus berjalan tanpa diri mu
Tak pernah terpikirkan
Bila aku bernapas tanpa napas mu

Takdir sudah mempertemukan kita
Tuk berdua dan saling menjaga
Dan tak mau aku melewati
Semua ini tanpa mu

Kau hangatkan genggaman tangan ku
Dan berkata akulah milik mu
Dan tak mau aku menjalani
Dunia ini tanpa mu



Tugas Sastra Indonesia
“ Membuat Cerpen “
Nama : Fitria Krisna Handayani
Kelas : XII_Bahasa


“ Anak Turunan Teroris “
     Kabut tebal masih menyelimuti suasana pagi,bukit-bukit di pinggiran desa nampak seperti langit yang jatuh dengan gumpalan awan tebal di sekitarnya hawa dingin tidak bisa di cegah masuk ke dalam rumah melewati lubang angin yang sempit.suasana hening,sunyi,sepi,senyap menyelimuti jangkrik-jangkrik yang semalam bernyanyi sudah tidak terdengar lagi suaranya, sementara burung-burung yang biasa bercanda gurau di pagi hari pun belum menampakan diri, diluar rumah juga tidak terdengar suara manusia yang biasanya sudah sibuk di pagi hari.

     Nurjanah mencoba memejamkan mata kembali dengan mukena yang masih menutupi lekuk tubuhnya berbaring di sajadah yang terhampar di lantai kamar, matanya memang tertutup namun jiwanya berkelana tak terbatas ruang dan waktu. mencoba kembali menjelajahi kisah hidupnya yang masih sepenggalan waktu di dunia. hidup yang hanya sebentar namun telah di isi dengan segala macam kepedihan dan luka yang akan terus mengganggu sepanjang masa. ”mengapa semua ini harus terjadi ?” hanya itulah pertanyaan yang selalu menghantui. belum lama dia memenuhi kewajiban sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya dengan merelakan diri di jodohkan dengan seorang laki-laki yang sama sekali tidak di kenal,seorang lelaki yang berbadan tegap raut wajah memang teduh dengan senyuman manis selalu menghias, tingkat kesopanan yang di tunjukan di atas rata-rata, perempuan mana yang tidak akan jatuh hati memandangnya? sungguh keberuntungan yang datang tanpa dia impikan sebelumnya saat sang ayah mengenalkan sosok laki-laki itu sebagai calon suaminya, tapi tidak banyak orang yang bisa dia ajak berbagi rasa dengn semua kegembiraan itu, kehidupanya selama ini mengharuskan dia terjebak dalam lingkungan aturan agama dan ketegasan ayahnya sebagai seorang ulama, tidak ada yang di sesali sejauh itu sebelum cerita berganti dengan kenyataan pahit yang harus di telan mentah-mentah.


     Nurjanah menghela nafas panjang, matanya rapat terpejam mencoba menerima segala kenyataan hidupnya. Sebelum menikah sudah sejak lama dia tahu banyak lelaki yang menaruh hati bahkan tak segan-segan mencoba mengungkapkannya langsung meski harus mencuri-curi pandang saat ayahnya tidak memperhatikan. Sebenarnya dia heran juga, apa sebenarnya yang lelaki kagumi dari dirinya? Sepanjang hari tubuhnya selelu ditutupi dengan busana yang menutup dari atas ke bawah, hanya matanya saja kadang yang terlihat bahkan seringkali harus ditutupi dengan kacamata hitam bila harus keluar rumah ditengah terik mentari. Sehingga akhirnya dia mengambil kesimpulan banyak lelaki yang tertarik dengannya karena sosok sang ayah merupakan ulama terkenal dan disegani didaerah setempat. Kesimpulan yang menjauhkan diri dari rasa riya dan kesombongan terhadap penilaian diri yang berlebih.


     Mentari masih saja sembunyi di balik kabut, atau sebenarnya kabut tidak rela bila mentari menerangi bumi? Entahlah, kebingungan yang mungkin sama dengan yang dirasakan nurjanah saat ini. Matanya terbuka mencoba mengikuti gerak tangannya yang meraba-raba perutnya yang membuncit. Usia kandungannya baru beberapa bulan, rasa mual masih sering timbul dengan permintaan masa ngidam yang aneh-aneh. Sekarang ini jangankan memenuhi segala keinginannya, mencoba bertanya pun malah tidak ada seorang pun yang berani melakukannya. Kini hidupnya semakin terasing diantara riuh rendah suara-suara manusia yang nyaring terdengar. Dulu dalam keterasingannya dia menerima dengan ikhlas sebagai bukti bakti dan patuh menjalankan perintah agama, orang-orang diluar pun tidak ada yang berkomentar buruk bahkan mereka merasa ikut bangga dan salut dengan hidupnya yang agamis.


     “ Nur…,” Tiba-tiba tersdengar suara lirih ibunya dari depan pintu kamar diselingi ketukan-ketukan ringan di daun pintu.


     “ Nurr, banguuun. Pak polisi minta kita segera bersiap, kita berangakat sebentar lagi”


     Suara ibunya kemudian hilang, apa yang kemudian terjadi tidak diperhatikannya lagi. Mata nurjanah kembali terpejam dengan linangan air mata yang membasahi pipi. Amar, lelaki yang di jodohkan ayahnya menjadi suaminya ternyata adalah tersangka peledakan bom. Teroris yang sudah sejak lama diburu aparat kepolisian. Tidak ada yang mengira bahkan dirinya sendiri pun tidak pernah menyangka, suaminya akan bernasib tragis, tewas berlumuran darah dengan lobang peluru menembus tubuhnya disana- sini. Kondisi manusia yang berlumuran darah seperti itu pernah dia lihat di berita televisi saat korban bom di sebuah hotel sedang dievakuasi. Kini dia harus melkihat langsung bahkan manusia itu adalah Amar, suaminya, Inikah buah dari perbuatan suaminya? Tidak ada seorang pun yang berani menjawabnya Sambil meraba perutnya yang buncit, Nurjanah semakin menangis tersedu.
     “ Bagaimana anakku nanti bila memngetahui bapaknya seorang teroris?”














Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar Anda?