JUBAH
Karya: Hesti Dwi Savitri
Di sekolahku ada seorang murid baru dari Jawa. Kedatangannya yang tiba-tiba ditengah semester dan penampilannya amat luarbiasa berbeda menggegerkan seisi sekolah.
Suatu hri Pak Aslan membawa seorang siswi pindahan ke kelas kami. Semua orang menahan napas ketika melihat kerudung panjangnya melambai bagai jubah. Tubuhnya tebungkus seragam yang longgar. Tangannya disembunyikan di balik kerudungnya dengan tertib, dan roknya yang sarat akan rempel menjuntai sampai ke ujung sepatu. Gadis itu benar-benar bagai kepompong. Sungguh, baru kali ini aku melihat seorang muslimah seperti itu, setidaknya tidak di sekolah kami. Tak ada seorang muslimah seperti itu. Bahkan anggota rohis sekalipun terlihat lebih manusiawi dan modis dari pada dia, terlebih dengan kerdung panjang yang lebar yang tampak berat membatasi gerakannya. Kemudian gadis itu memperkenalkan dirinya.
“Assalamualaikum. Nama saya Siti Humairah. Salam kenal.”
Sejenak aku tertegun ditengah riuh rendah suara teman-teman sekelasku. Setelah beberapa saat diliputi keterkejutan, akhirnya monyet-monyet itu mulai berani menunjukan sifat aslinya dan menggoda gadis itu. Tapi tidak untukku. Suara gadis itu telah memberiku kejutan lain. Suaranya terlalu jernih dan tegas untuk seorang gadis dengan jubah ekstra seperti itu, apalagi perkenalannya tadi terlalu singkat tanpa embel-embel keramahtamahan.
Aku heran, bukankah biasanya seorang muslimah itu selalu bersikap ramah dan bersahabat pada semua orang. Tapi gadis itu, Siti Humairah, tak pernah sekalipun tersenyum dan memandang ke arah kami. Suaranya yang dalam seolah bercerita bahwa ia takkan pernah mengajak kami mengikuti jejaknya. Ia bahkan tidak peduli kami ada atau tidak. Dia telah menutup dirinya dari siapapun.
***
Siti Humairah, gadis berkerudung panjang itu sudah satu bulan menjadi warga baru di sekolahku. Sejak awal kepindahannya ke sekolah, dia selalu menarik perhatianku dan semua orang di sekolah. Bukan hanya karena penampilannya yang terlalu jilbaber di tengah masyarakat kelas kami yang heterogen, tapi juga pemikiran-pemikiran dan cara pandangnya membuat kami semua tercengang.
Sebenarnya Siti Humairah adalah orang yang pendiam dan penyendiri. Benar perkiraanku ketika aku pertamakali melihatnya kalau dia akan menutup dirinya dari kami semua. Dia tak pernah mau bergaul, bicara pun sangat jarang. Bahkan yang paling membuatku bingung, gadis itu tak pernah tersenyum, padahal biasanya seorang muslimah selalu ramah pada semua orang. Karena itulah sampai sekarang dia tak pernah punya teman. Teman baginya hanyalah kebisuan dan mesjid, serta mushaf kecil yang selalu dipekurinya setiap ada jam kosong.
Tapi semua kebungkamannya itu berubah menjadi seruan tajam dan menggebu-gebu ketika ia mengungkapkan pemikirannya di depan kelas. Diskusi kelas menjadi ajang baginya untuk bersuara. Tak ada seorang pun yang berani bergerak ketika dengan beraninya ia mengutuk orang-orang barat yang telah menyebabkan Perang Dunia I dan II. Dia menyebut mereka sebagai orang-orang idiot berhati batu, memecah belah negara, membunuh jutaan orang, dan menghancurkan diri mereka sendiri. Humairah juga tak sungkan-sungkan menyebut globalisasi sebagai era kemunduran yang terjahiliyah.
“Pergaulan bebas, pelacuran tingkat atas, korupsi, pembunuhan, dan semua yang kalian anggap sebagai kemajuan hanya omong kosong belaka! Apa bedanya dengan jaman dulu? Ketika peradaban manusia hanya sebatas berburu dan meramu, tanpa mengerti moral dan nilai-nilai yang murni? Mungkin hanya caranya saja yang sedikit berbeda, lebih modern, lebih wah, dan lebih licik!”
Dan berpuluh-puluh ketidak adilan dan penyimpangan meluncur mulus dari mulutnya dengan tajam dan menegangkan. Jelas dia tak pernah menyukai semua yang kami anggap sebagai kemajuan terhebat sepanjang masa. Dia membenci setiap detik perubahan yang justru membuat ciri-ciri kiamat semakin jelas terlihat.
Setelah ketegangan itu, dua jam setelahnya semua orang menertawakannya. Meskipun sempat terbersit pembenaran dalam hati mereka, namun bagi orang-orang yang hanya satu tahun sekali mendengar ceramahan, maka hal itu mereka anggap sebagai omong kosong belaka. Ia semakin dikucilkan dan dibenci. Dan semakin Humairah dilukai, gadis itu semakin berani menentang semua. Bahkan terakhir kali dia berani mengutk sistem gereja di Inggris pada tahun 1880-an yang menganggap bahwa wanita yang meninggal ketika hamil atau melahirkan dianggap tidak suci dan pantas disejajarkan dengan pembunuh dan perampok, padahal di kelas kami ada orang yang beragama Nasrani.
***
Jubah gadis itu melambai memasuki rumah kontrakan. Dia begitu tergesa-gesa hingga tak menyadari keberadaanku dan Apeng yang diam-diam mengikutinya.
Seminggu yang lalu dua orang teroris tertangkap di rumah kontrakannya di Sidoardjo. Tak ada seorang pun yang menyadari kalau mereka adalah teroris yang mengebom hotel mewah di Jakarta satu bulan yang lalu.
“Habis orangnya tertutup sih. Tapi dia juga baik, bahkan suka ngajar anak-anak ngaji. Jadi mana saya tahu kalu ternyata dia teroris.” Kata salah seorang tetangga teroris itu ketika diwawancara di TV.
Atas dasar kesaksian itulah teman-teman sekelasku mencurigai Humairah sebagai salah satu teroris lainnya. Aku tahu saat ini semua orang sedang resah karena takut diantara mereka ada teroris yang sedang bersembunyi, apalagi katanya masih ada teroris yang belum ditangkap. Tapi mencurigai Humairah sebagai teroris adalah hal terkonyol yang pernah kudengar. Humairah memang tertutup dan misterius, tapi aku yakin dia bukan teroris. Namun sialnya, tak ada yang mau mendengarkanku. Mereka malah menugasiku untuk mengikuti Humairah kemana pun dia pergi.
“Wah, men, rumah kontrakan!” Seru Apeng.
“Kata siapa rumahsakit!” Jawabku ketus. Aku benar-benar tidak menyukai hal ini.
“Men, men! Jangan-jangan si bau sorga itu beneran teroris lagi!” Bisik Apeng sambil memandang ngeri rumah kontrakan kecil yang berada beberapa meter dari tempat pengintaian kami di balik pohon nangka. “Di dalam tu kontrakan pasti ada terori lainnya yang lagi ngerakit bom gede buat ngebom kota kita!”
“Ah…parno lo! Gak ada, gak ada…..! Di rumah itu gak ada terorisnya kok. Cuma ada ibu sama bapaknya doang!” Sahutku cepat. Gila! Sarang teroris ada di lingkungan ramai kayak gini?! Huh, orang bodoh mana yang mau bunuh diri disini! Dasar Apeng bloon! Gerutuku dalam hati.
“Tahu dari mana lo?”
Pertanyaan Apeng langsung membuatku salting. Aku tidak bisa mengatakan padanya kalau sudah sebulan ini aku mengikutinya dan mencari tahu tentang dirinya dari anak pemilik kosan yang merupakan temanku. Toh selama penyelidikanku, tak ada yang aneh tentang gadis itu. Dia tinggal bersama kedua orangtuanya. Ayahnya tukang bengkel di pasar dan ibunya adalah seorang ibu rumahtangga biasa. Aku memang sempat curiga kalau dia adalah salah satu jemaat aliran sesat yang sekarang banyak beredar. Tapi nyatanya semua itu hanyalah kecurigaanku saja.
“Men, jangan bilang kalau lo suka sama tu ustadzah dan lebih dulu nyelidikin dia dari pada gue?” Seru Apeng dengan senyum menyeringai.
“Sinting lo!” Umpatku sambil menjitak kepalanya yang plontos. “Kalau pun gue nyelidikan dia, bukan berarti gue suka! Gue tahu kalau Humairah bakal jadi masalah buat kita, karena itu gue nyari tahu soal dia. Tapi sejauh penemuan gue nih, gak ada tuh yang aneh sama dia. Dia dan keluarganya juga kenal sama orang-orang di lingkungan sini. Jadi gue rasa cewek itu bersih, bukan teroris!”
“Nah, itu dia yang mereka mau! Lo udah dibohongin, men, lo udah ditipu! Mereka sengaja berbaur biar gak ketahuan siapa mereka sebenernya. Lo kan pinter, men, jadi lo pasti tahu dong kalau semakin lo kelihatan biasa lo semakin gak bakal dicurigai, dan semakin lo kelihatan mencolok, lo akan semakin dicurigai!” Kata Apeng, membuatku tercengang dengan semua kecurigaan yang membuat otaknya mendadak pintar. Apa yang dikatakannya memang masuk akal, tapi tak ada bukti nyata yang menunjukan kalau Humairah memang teroris, atau…setidaknya itulah yang mereka pikirkan tentang Humairah.
“Wah, siapa lagi tuh?” Tanya Apeng dengan penuh curiga.
Aku melihat ke arah yang ditunjukan Apeng. Seorang pria berjubah dengan jenggot panjang keluar dengan tergesa-gesa dari rumah kontrakan Humairah sambil membawa sebuah tas hitam yang besar. Tak berapa lama sebuah mobil jip berhenti tepat di depan pria misterius itu, kemudian pria itu pun menghilang bersama debu yang ditinggalkan mobil itu.
Aku dan Apeng tertegun menatap kepergiannya. Ada banyak hal yang berkecamuk dalam pikiran kami. Dan Apeng lah yang lebih dulu mengatakannya.
“Kita susul mereka?” Tanya Apeng setengah menyarankan.
Aku menggelengkan kepala.”Gak, gak usah, kita pulang aja.” Jawabku cepat sambil menghidupkan motorku. Hatiku langsung tidak enak. Tanganku gemetar memikirkan apa yang baru saja kulihat. Orang itu, pria itu, mirip sekali dengan salah satu teroris yang ditangkap seminggu yang lalu, hanya saja pria misterius yang kulihat brausan tampak lebih tua dan kurus. Tapi aku yakin raut wajah mereka tak jauh berbeda, seperti pinang dibelah dua.
Aku pun segera melarikan motorku kencang di jalanan, berusaha menghapus bayangan pria berjubah dan kecurigaanku kepada Humairah yang tiba-tiba saja muncul dalam benakku. Humairah, teroris?
***
Humairah disidang hari ini oleh teman-teman sekelasku. Atas laporan yang disampaikan Apeng, mereka semua sepakat mengintrogasi gadis itu. ketika Humairah mendengar alasan pemanggilannya, dia nyaris tergelak saking konyolnya. Namun aku bisa melihat tangannya gemetar dibalik jubah putihnya.
“Ayo mengaku saja! Barangkali saja dengan begitu hukumanmu akan lebih ringan.” Seru seseorang di bangku belakang.
“Mengaku apa? Apa yang harus kuakui? Lagi pula kalian bukan Tuhan yang berhak menghakimi siapa pun!” Sahut Humairah dengan tegas.
“Jangan bawa-bawa Tuhan untuk menutupi niat jahatmu! Dasar munafik! Kau bersikap seolah dirimulah orang yang paling suci, paling tidak bisa disentuh, bahkan disapa sekalipun. Tapi nyatanya kau lebih busuk! Setelah memecahbelah kami dengan semua argumen hebohmu, sekarang kau malah bersekongkol dengan teroris!” Cerca Dio.
Wajah Huamirah langsung merah padam. Matanya berkilat menahan amarah. Seketika tembok ketenangan yang selama ini ia bangun dengan kokoh seolah runtuh oleh emosi yang jarang diperlihatkannya.
“Aku bukan teroris!Bukan!” Seru Humairah nyaris berteriak yang membuat kami semua sejenak tercengang. “Apa dasar kalian menuduhku sebagai teroris? Apakah karena aku memakai burqa? Atau karena membenci orang-orang barat itu? Hei, teman-temanku yang baik, tidak semua yang memakai kerudung panjang itu punya niat jahat, dan tidak semua orang yang membenci Amerika itu teroris! Sejak kapan kalian mulai berpikiran bodoh seperti itu? Kalian juga adalah orang Islam, tapi mengapa kalian malah mencurigai saudara sendiri sebagai teroris? Rasul mengajarkan umat-umatnya untuk tidak menyakiti siapa pun, bahkan orang non-muslim sekalipun! Tapi kenapa kalian malah menyakitiku dengan menuduhku sebagai seorang teroris?”
Ada kesenduan dimata yang selalu berkilat tajam itu. Humairah benar-benar terluka dengan tuduhan itu. Aku mengerti, tapi sialnya aku tak bisa membelanya setelah penguntitan yang kulakukan selama ini.
“Alah….bullshit! buktinya kemarin Apeng dan Donny ngeliat teroris keluar dari rumah lo!” Kata Tito.
Humairah berbalik menatapku tidak percaya, seolah matanya berkata ‘jadi selama ini kalian memata-mataiku?!’. Aku tak sanggup menatapnya.
“Teroris apa?” Tanyanya dingin tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
“Itu, cowok brewok yang keluar dari rumah lo sambil bawa tas gede dan naik mobil jip! Dia pasti teroris. Dan barang yang dibawanya itu pasti bom!” Jawab Apeng cepat.
Tiba-tiba untuk pertama kalinya kulihat Humairah tersenyum, senyuman sinis yang seolah menerorku ‘dasar bodoh!’.
“Apa orang itu memakai jubah dan sorban?” Humairah malah balik bertanya. Kini nada suaranya terdengan lebih tenang meski kesinisan itu semakin pekat terasa.
Aku dan Apeng mengangguk bingung.
“Apa kau sudah mau mengakui kesalahanmu?” Sindir Febi.
“Kesalahan?” Humairah membulatkan matanya. Sejenak ketenangan yang menghinggapi wajahnya berganti dengan amarah. “Apakah menjadi tukang bengkel itu adalah sebuah kesalahan? Berjenggot dan berjubah itu adalah salah? Ayahku bukan teroris! Dia seorang pejuang, pejuang keluarga yang mati-matian mencari nafkah untuk memerangi kelaparan! Apakah yang seperti itu juga kalian anggap sebagai teroris?” Seru Humairah, namun kemudian suaranya kembali melembut.”Aku tahu aku berbeda dengan kalian, kerudung panjangku, dan pemikiranku mungkin tak bisa kalian terima, tapi aku selalu berusaha untuk tidak menyakiti kalian….”
“Dengan cara menjauhi kami semua?” Tanyaku.
“Ya…mungkin. Tapi mengapa kalian malah menerorku dengan tuduhan seperti itu?!....”
“Meneror?” Seru Krista tak terima.
“Ya! Kalian selalu menerorku dengan tatapan benci kalian! Kalian membenci kerudungku, kalian membenci caraku beribadah, kalian membenci komunikasiku dengan Tuhan! Kalian….”
Humairah tak melanjutkan kata-katanya. Matanya lebih dulu mengungkapkan semua amarahnya. Kami semua tercengang melihatnya. Sungguh aku tak bisa menatap mata itu, mata yang dulu begitu tegar namun kini begitu terluka. Kami telah melukainya dengan semua kecurigaan kami. Dan aku telah melukainya dengan kebisuanku yang tak mampu membelanya meski aku tahu bahwa hal itu tidaklah benar.
Sidang pun berakhir dengan kemenangan Humairah yang tak terucap. Sekarang aku tahu bahwa teroris tidak selalu menggunakan bom sebagai senjatanya, tapi lidah, mata, dan semua tuduhan yang tak beralasan bisa menjadi bom terdahsyat yang dapat meluluh-lantahkan hati seseorang, membuat ia menderita, dan terluka, seperti Humairah…
Maaf, Humairah….kau bukan teroris…tapi kini kau telah meneror kami dengan rasa bersalah….
Garut, April ‘10